Meski penampilannya berubah total, tato di lehernya tetap saja mengintip dari celah baju. Selama seminggu ini, Doni bersama dua temannya akan menjalani pembinaan yang dilakukan Polsek Kuta Alam Polresta Banda Aceh. Mereka terjaring razia penyakit masyarakat (pekat) sehingga diamankan.
Selama pembinaan, Doni harus melaksanakan salat lima waktu secara berjemaah bersama polisi. Malam hari seusai buka puasa, ia diwajibkan melaksanakan salat tarawih. Setelah itu, polisi meminta ustaz memberi ceramah kepada mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terima kasih, Pak Polisi, sudah membina kami. Rasanya bahagia kami diberi arahan yang baik sama polisi," kata Doni saat ditemui, Jumat (9/6/2017).
Remaja tamatan sekolah dasar tersebut diamankan polisi karena bergabung dengan punk. Hari-hari mereka habiskan dengan mengamen di warung kopi dan sering mangkal di kawasan Peunayong. Warga di sana resah sehingga melapor ke polisi. Mendapat laporan, petugas turun tangan.
Doni berkisah, dia memilih bergabung dengan anak punk setahun lalu. Awalnya, ia berangkat dari kampung halaman untuk merantau di ibu kota provinsi. Setelah beberapa bulan bekerja di sebuah rumah makan, Doni bertemu dengan kelompok punk Banda Aceh.
"Saya gabung dengan punk karena saya suka di situ. Memang tujuan punk ini memberontak. Memberontak atas pemerintah yang tidak adil," kata anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Ketidakadilan yang dimaksud Doni adalah banyaknya pejabat yang melakukan korupsi di negeri ini. Ia dan kawan-kawan mencoba menghentikan koruptor dengan kritik jalanan dan menciptakan sederet lagu. Saat mengamen di warung-warung, lagu-lagu tersebut mereka nyanyikan sebagai ungkapan isi hati.
"Kita tidak bisa mencegah secara langsung (korupsi). Senjata kami cuma lagu. Mungkin lagu ini keluhan-keluhan dari rakyat kecil. Kami cuma bisa menyanyi untuk menyampaikannya," jelas Doni.
Selama bergabung dengan punk, Doni keluar dari pekerjaannya. Ia memilih menghabiskan waktu di jalanan bersama temannya-temannya. Menurutnya, komunitas punk di Aceh tidak seperti yang dibayangkan orang.
"Karena penampilan kami begini, makanya dianggap meresahkan," ungkapnya.
Setelah menjalani masa-masa pembinaan ini, Doni mengaku akan bertobat dari punk. Ia akan memperbaiki diri terlebih dulu dan kembali ke masyarakat serta mencari pekerjaan lain. Meski demikian, ia akan tetap menjaga silaturahmi dengan teman-temannya sesama anggota punk.
Selain Doni, Ihsandi (23) asal Banda Aceh juga mengungkapkan alasan yang sama sehingga bergabung dengan punk. Selain mencari kesenangan, ayah satu orang anak ini juga mengaku ketidakadilan menjadi alasan utama dirinya memberontak.
"Sekarang banyak rakyat miskin yang tidak punya uang. Kami berontak karena itu," kata Ihsandi.
Pemilik salah satu doorsmeer di Banda Aceh ini sudah empat tahun bergabung dengan punk. Ia berkumpul dengan teman-teman sesama punk pada malam hari setelah bekerja di tempat cuci kendaraan. Di sana, mereka mengamen atau sekadar sharing berbagai persoalan.
Setelah selesai menjalani pembinaan nanti, ia akan kembali ke tempat usahanya. Meski demikian, hubungannya dengan punk akan tetap ia jaga.
"Silaturahmi sama teman-teman punk tetap, tapi tidak turun ke jalan lagi," ungkapnya.
Baik Doni maupun Ihsan mengaku orang tua mereka tidak setuju anaknya bergabung dengan punk. Orang tua Doni belum mengetahui anaknya memilih cara hidup berbeda dengan remaja kebanyakan. Selama menjadi punk, ia belum pernah pulang kampung.
"Orang tua nggak kasih (saya jadi punk). Mana mau anaknya begini. Mereka mau yang terbaik," kata Ihsan.
Selain Doni dan Ihsan, ada seorang lagi anak punk yang dibina, yaitu Surya. Ketiganya ditangkap di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Selama seminggu masa pembinaan, nama mereka diganti dengan tokoh serial televisi animasi anak-anak: Upin dan Ipin.
Kapolsek Kuta Alam AKP Syukrif Panigoro mengatakan penggantian nama ketiga anak punk itu selama pembinaan sengaja dilakukan untuk mengubah citra mereka dari buruk menjadi baik. Nama tokoh kartun yang dipilih adalah Upin, Ipin, dan Jarjit.
"Ini sengaja saya buat. Pertama, kalau kita sebut mereka anak punk lagi, saya rasa kasihan ya karena kita ingin mengubah mereka. Bukan mengubah jadi jin atau setan, tapi mengubah manusia kembali ke manusia lagi. Dia (selama ini) lupa saja, dia khilaf," kata Syukrif kepada wartawan, Jumat (9/6).
Menurutnya, jika masih menggunakan panggilan anak punk selama pembinaan, ia yakin akan susah mengubah mereka. Penamaan dengan tokoh kartun ini, kata Syukrif, bukan untuk mengolok-olok atau mengucilkan ketiga anak punk tersebut.
"Tapi saya pengin mereka malu. Masak kartun saja bisa beriman, tahu agama, masak kita nggak," ungkapnya.
Setelah nama diubah, ketiga anak punk tersebut, yaitu Ikhsandi, Doni Wahyudi, dan Surya, lebih mudah berbaur. Bahkan, saat salat tarawih tadi malam, mereka dikerubungi anak-anak karena memiliki nama seperti tokoh kartun.
"Kalau kita panggil mereka anak punk, anak-anak akan takut sama mereka. Tapi kalau kita bilang ini Upin, ini Ipin, dan ini Jarjit, anak-anak akan kumpul sama mereka," tutur Syukrif. (dhn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini