"Saya dapat somasi itu sehari sebelum Pak Edi keluar penjara, sehabis menghadiri acara persidangan kawan-kawan di Pengadilan Jakarta Pusat. Kami kembali ke pulau, baru beristirahat di rumah ada dua orang security datang memberikan surat," kata Sahrul di kantor Walhi Jl Tegal Parang No.37, Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (8/6/2017).
Edi yang dimaksudnya ialah Edi Priadi yang baru keluar penjara pada Rabu (7/6) kemarin. Edi sebelumnya divonis selama 4 bulan oleh PN Jakut karena diduga menyerobot lahan milik PT Bumi Pari. Padahal Edi sudah tinggal di sana sejak 1999, sementara PT Bumi Pari sendiri baru ada pada tahun 2005.
![]() |
Sahrul mengatakan dalam surat somasi tersebut, dirinya diminta meninggalkan rumahnya 1x24 jam. Dia merasa heran karena menurutnya tanah tersebut adalah milik warga yang selalu dijaga dan dirawat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Pada Februari 2107, Dian Astuti yang tak lain merupakan istri Edi Priadi sudah lebih dulu kena intimidasi. Dia didatangi pihak kecamatan dan diberi peringatan untuk segera meninggalkan rumah. PT Bumi Raya akan memberikan uang kompensasi sebesar Rp 10 juta rupiah tapi Diah menolaknya.
Empat bulan kemudian, Diah kembali menerima surat somasi ketika suaminya masih di dalam penjara. Dia kembali diminta mengosongkan rumah dan diancam penjara.
"Somasi dapat sehari sebelum suami keluar. Kemarin, 6 Juni saya terima surat dari perusahaan yaitu isinya saya harus mengosongkan rumah tersebut, jika tidak mengkosongkan saya dikenakan pidana 4 tahun penjara. Saya takut dan akhirnya melapor ke Ketua RT," ujar Diah di lokasi yang sama.
Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari menilai tindakan somasi dan pelaporan kepada polisi ini tidak dapat dibenarkan secara hukum. Salah seorang pengacara dalam tim tersebut mengatakan nelayan Pulau Pari tidak dapaat diusir.
"Apa yang terjadi di Pulau Pari saat ini pada dasarnya ini merupakan intimidasi. Yang kami tidak habis pikir di sini pihak-pihak lain itu melakukan hukum pidana sebagai alat untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh mereka. Menurut saya mereka tidak bisa diusir karena tidak memiliki izin pengelolaan pulau kecil tetapi mereka mempunyai haknya yang diakui oleh pemerintah," ucap Martin Hadi Winata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
PT Bumi Raya mengklaim memiliki 90 persen tanah dengan berbagai sertifikat. Namun Tim Advokasi Selamatkan Pulau Pari sangsi sertifikat yang didapatkan pada tahun 2014 diperoleh sesuai dengan prosedur.
![]() |
"Telah terjadi pelanggaran asas hukum dimana permasalahan perdata diarahkan menjadi permasalahan pidana. Sudah seharusnya Polres Kepulauan Seribu menolak laporan-laporan yang berkaitan dengan sengketa tanah. Sehingga kami menempuh jalur ke Ombudsman dan melaporkan masalah ini ke Kantor Staf Kepresidenan (KSP) untuk memeriksa proses penerbitan sertifikat tersebut. Pihak perusahaan, kepolisian harus menghormati proses di Ombudsman dan KSP," ucap dia.
Sebelumnya, tiga nelayan Pulau Pari juga tengah menjalani persidangan atas kasus dugaan pungutan liar kepada wisatawan. Mereka disangka meminta paksa uang sejumlah Rp 5.000 kepada wisatawan di Pantai Perawan. (jbr/asp)