Salah satu yang mendukung langkah Jokowi yaitu pakar hukum Refly Harun. Dengan tegas ia menyatakan tidak ada alasan Ahok dinonaktifkan. Pendapat Refly menuai kritikan keras dari banyak kalangan, termasuk dari kelompok intelektual hukum sendiri.
Tapi sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menyatakan keputusan soal Ahok sudah tepat dan benar. Gugatan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) yang meminta Ahok untuk dinonaktifkan ditolak majelis pada Kamis (18/5) kemarin.
"Perbedaan pendapat di antara ahli hukum soal tafsir UU adalah hal yang biasa. Tidak perlu disikapi dengan marah atau memaki. Namun kalau sudah ada putusan pengadilan, itu lah yang mengikat. Bukan penadapat ahli lagi," ujar Refly saat dihubungi detikcom, Jumat (19/5/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi Rafly memilih berseberangan dengan mengacu pada pasal 83 ayat 1 UU Tentang Pemerintahan Daerah, di mana pasal tersebut menyatakan seorang kepala daerah yang diancam paling singkat lima tahun wajib diberhentikan sementara. Menurut Refly Ahok diancam paling lama lima tahun, bukan paling singkat.
Pasal 83 ayat 1 UU Pemda, yang berbunyi:
Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena tak memenuhi pasal 83 ayat 1 UU Pemda, maka sebagai terdakwa, Ahok tidak perlu mundur sebagai gubernur.
Langkah Parmusi, menurut Rafly, malah dinilai sebagai langkah yang positif. Perbedaan tafsir sudah sewajarnya diselesaikan di pengadilan.
"Apa yang dilakukan Parmusi patut dihargai karena mencari jalan keluar berkeadaban," ujar Refly. (asp/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini