Bocah-bocah ini terlihat hilir mudik menyeberangi Sungai Malibaka, perbatasan Indonesia-Timor Leste. Mereka bukan sedang bermain-main.
Pemandangan ini dilihat detikcom di sekitar Pasar Turiskain, Raihat, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Jumat (31/3/2017). Bocah-bocah itu menyeberang ke teritori Maliana, Distrik Bobonaro, Timor Leste.
Fandi, Atai, dan Muti adalah tiga di antara sejumlah bocah yang mengusung barang-barang bawaan pembeli di Pasar Turiskain, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka bertiga kemudian memanggul barang-barang itu menyeberangi sungai batas negara agar sampai ke Timor Leste. Mereka-mereka ini kuli panggul alias 'porter transnasional'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Pembeli di pasar Turiskain memang banyak yang berasal dari Timor Leste. Kadang barang belian orang-orang penggenggam Dolar Amerika Serikat ini kelewat banyak, sehingga terlalu sulit bila dijinjing sendirian menyeberangi Sungai Malibaka untuk pulang ke Timor Leste. Jasa kuli panggul anak-anak akhirnya dimanfaatkan. Oh iya, benar, transaksi di pasar Turiskain menggunakan Dolar Amerika Serikat.
Fandi, kuli panggul berumur 12 tahun mengaku sudah tidak lagi sekolah. Sedangkan temannya yang seusia, yakni Atai dan Muti, masih sekolah di kelas 6 SD. Atai dan Muti memanfaatkan duit hasil kerjanya untuk jajan di sekolah.
"Orang tua tidak melarang," kata Muti.
Bocah-bocah ini mengaku sebagai anak petani desa setempat. Oleh pengguna jasa, mereka diupah paling sedikit 10 Centavos. Sebagaimana diketahui, 1 Centavos sama dengan 1 sen Dolar Amerika Serikat. 100 Centavos setara USD 1. Upah yang diterima tergantung berat barang yang mereka bawa menyeberangi sungai.
"Kalau bawa barang berat bisa dikasih USD 5. Biasanya bawa sekarung pakaian," kata Fandi.
Baca juga: Malibaka, Sungai Berbahaya yang Harus Diseberangi Pelintas Batas
Fandi, Atai, dan Muti masih di dalam Pasar Turiskain. Berkacak pinggang dan memegang tiang penyangga terpal, mata Fandi mengamati pembeli beruang dolar yang sedang menawar amplifier di lapak elektronik. Dengan sigap mereka menghampiri pembeli itu. Amplifier dan televisi dalam kardus mereka bawa.
Tak ada banyak kata-kata dengan pengguna jasa hingga barang sampai di atas pundak bocah-bocah itu. Nampaknya hal ini sudah sangat biasa mereka lakukan.
![]() |
Selang tak berapa lama, dua bocah bernama Manu (11) dan Jan (13) keluar dari keriuhan Pasar Turiskain. Mereka juga kuli, menggotong sekarung muatan berdua. Manu dan Jan nampak terburu-buru. Kaki-kaki mereka menginjak tanah, genangan, kerikil, kerakal, dan akhirnya menyemplung ke Sungai Malibaka yang selebar hampir 100 meter itu.
![]() |
Manu yang berkaos ungu berada di depan Jan. Celana Manu robek, nampaknya bukan karena pertimbangan fesyen, namun karena kerasnya aktivitas. Air semakin dalam, mereka tetap menggotong karung putih itu dengan hati-hati. Tak masalah bila air sampai setinggi pinggang, yang penting karungnya aman sampai ke Timor Leste.
Jelas, pekerjaan ini berbahaya. Bahkan Sungai Malibaka juga sudah terkenal sering memakan korban. Bocah-bocah porter sebenarnya tahu hal ini.
"Kalau tinggi airnya sampai sedada, kita tidak menyeberang. Di sini tiap tahun pasti ada yang hanyut, mati," kata Fandi sambil menyeberangi sungai.
![]() |
Pengguna jasa mereka, yakni warga Timor Leste, merasa sangat terbantu. Tanpa bocah-bocah ini, sulit bagi mereka untuk membawa barang banyak dari Turiskain. Soalnya di sini tidak ada jembatan yang bisa dilalui gerobak, melainkan harus melalui sungai yang arusnya kadang menyentak.
"Saya beli TV, parabola, amplifier. Kalau nggak ada mereka (bocah kuli panggul) ya kita susah. Mungkin kami tidak belanja bila tidak ada mereka," kata warga Timor Leste, John Sili (28), di tengah Sungai Malibaka.
Simak terus cerita-cerita dari kawasan terdepan Indonesia di Tapal Batas detikcom.