"Dunia haus minyak kelapa sawit. Dulu Malaysia yang nomor 1, sekarang Indonesia jadi produsen minyak kelapa sawit nomor 1 dunia, artinya big opportunity, big profit. Hutan dibabati dulu, kenapa? Karena tanah-tanah yang ada sudah diklaim masyarakat setempat," tutur pendiri Centre for Orangutan Protection (COP) Hardi Baktiantoro saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Prosesnya kan land clearing, pembersihan lahan, memakai alat berat. Namun cara pembakaran dipakai karena lebih murah dan lebih cepat. Akibatnya terjadi profit, greed dan genocide. Pemusnahan hutan hujan dan orangutan," tuturnya geram.
![]() |
Bila hutan dibersihkan dengan cara dibakar, lanjutnya, yang selamat adalah jenis-jenis burung. Sedangkan hewan di darat, musnah semua.
"Hutan kan terdiri dari bermacam pohon dan satwa liar. Bila hutan hilang, satwa liar juga hilang. Nah, yang selamat dianggap jadi hama," katanya.
"Akhirnya apa, seperti orangutan, mereka kelaparan karena pohonnya, sumber makanan mereka habis, kemudian berkeliaran di kebun kelapa sawit karena sudah tidak ada hutan lagi. Maka mereka makan tunas kelapa sawit yang kecil-kecil itu, dan dianggap sebagai hama," jelas Hardi sambil menunjukkan video dan foto anak orangutan yang 'nyasar' di perkebunan kelapa sawit.
Di satu sisi, perusahaan perkebunan yang membuka hutan itu sudah mendapatkan untung dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) hutan yang ditebang.
"Dari membuka hutan saja berapa keuntungan yang diperoleh. Izin Pemanfaatan Kayu. Keuntungan dari kayu bisa dibuat membangun jembatan, atau dijual, kan lumayan hasilnya bisa menambah modal," paparnya.
Sementara CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Dr Jamartin Sihite mengatakan masalah utama pembunuhan orangutan bukan sawit, namun konversi lahan menjadi perkebunan, termasuk sawit. Lantas karena hutan hilang, sumber makanan orangutan juga hilang hingga akhirnya 'nyasar' ke perkebunan dan dianggap hama.
![]() |
"Artinya konversi lahan kita penggunaan lahan untuk kegiatan lain, itu tinggi sekali. Kalau di satu tempat itu udah dikasih tau kalau orangutan itu hama kepada karyawannya, lalu di lahan itu ada orangutan, apa yang akan dilakukan? Pasti dibunuhi," tutur Jamartin saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
![]() |
"Karena pemberitahuan kepada karyawannya bukan sebagai orangutan adalah satwa langka yang dilindungi di negara kita, tapi yang dijelaskan bahwa orangutan itu adalah hama. (Perkebunan) sawit tuh jangan bilang orangutan hama lah," jelasnya gemas.
Konversi lahan meningkatkan konflik orangutan dan manusia juga dibenarkan Direktur Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Djati Witjaksono Hadi.
"Semakin banyak konversi hutan tentunya akan semakin banyak ancaman terhadap itu, itu pasti hubungannya korelasinya seperti itu," tutur Djati saat berbincang dengan detikcom.
![]() |
Sementara Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang mengatakan konversi hutan ke lahan sawit bisa jadi salah satu penyebab konflik orangutan dan manusia.
"Bisa jadi. Biasanya orangutan yang tertangkap sudah keluar dari habitat dia, jadi dia masuk ke kebun. Dulu itu habitat dia. Itu satu," jawab Awang saat ditanya maraknya konsesi perkebunan sawit yang menimbulkan konflik orangutan dan manusia saat berbincang dengan detikcom beberapa waktu lalu.
"Bisa jadi habitat dia sudah tertekan, nggak dapat makanan lagi di situ, dia keluar. Nah ketika sudah mau keluar, dia tersesat. Mau balik nggak bisa. Itu problem-problemnya," imbuhnya.
![]() |
Konflik orangutan dengan manusia berada di perkebunan kelapa sawit dan hutan yang selama ini terletak berdampingan.
"Cuma kan orangutan nggak tahu mana yang hutan mana yang bukan.." jelas dia. (nwk/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini