Melihat Lebih Jelas Masalah Penganut Kepercayaan Soal Kolom Agama di KTP

Melihat Lebih Jelas Masalah Penganut Kepercayaan Soal Kolom Agama di KTP

Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Rabu, 07 Des 2016 12:58 WIB
Jakarta - Penganut aliran kepercayaan mengadukan masalah diskriminasi yang dialaminya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai warga negara mereka terdiskriminasi dengan pengosongan kolom agama di KTP.

Alhasil empat orang penggugat yang diketahui Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim menggugat Pasal 61 ayat 1 dan ayar 2 UU Administrasi Kependudukan. Sebab pasal itu dianggap telah merugikannya hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia dan menciptakan diskriminasi dalam kehidupan sosial.

"Pengosongan kolom agama itu menutup akses pelayanan publik bagi masyarakat penghayat. Seperti enggak bisa melamar PNS, TNI, Polri, akses pendidikan, dan akses pekerjaan," kata kuasa hukum penghayat kepercayaan dari Elsam, Azhar kepada detikcom, Rabu (7/12/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Azhar mengatakan bahkan kliennya tidak dapat meminjam uang di bank sebab terbentur dengan sistem pada KTP elektronik.

"Akses semuanya menggunakan KTP elektronik. Nah ketika ada yang kosong maka sistem otomotis menolak karena agamanya tidak ada," tutur Azhar.

Azhar mengatakan dalam persidangan di MK kemarin, gugatan tersebut menarik perhatian kesembilan hakim. Namun sayangnya, sidang itu tidak dihadiri perwakilan DPR.

"Nah perdebatan itu kan muncul ketika pihak terkait MLKI membacakan permohonannya. Dan ada point-point yang sedikit membahas definisi agama dari bahasa kawi ha dan gama yang artinya patokan uhan. Nah hakim konstitusi Anwar Usman sedikit beda pemahamnya karena agama dari bahasa sansekerta yang artinya tradisi," ucap Azhar.

Azhar juga mengomentari pandangan hakim konstitusi Suhartoyo dan Patrialis Akbar yang terjebak dalam diskursus definis agama dan kepercayaan. Sedangkan permohonan pihak terkait (MLKI) tidak jauh berbeda dengan principal.

"Yang pada pokoknya menguji UU Administrasi Kependudukan yang memerintahkan pengosongan kolom agama untuk dikosongkan," imbuh Azhar.

Azhar sendiri mengapresiasi pendapat hakim konstitusi Maria Farida Indarti yang meminta pemerintah harus jeli dan peka dalam permasalahan. Sebab polemik pengosongan kolom agama terjadi karena norma yang mengharuskan pengosongan kolom agama.

"Dan akhirnya mereka para penghayat distigma kafir, klenik, sesat dan seterusnya," tutur Azhar.

Azhar mengatakan dari pengosongan kolom agama ini berdampak luas. Alhasil para kliennya tidak mendapatkan hak konstitusional sebagai warga negara.

"Dari KTP kosong itu akhirnya mereka --Kepala Desa atau KUA yang sudah tahu KTP-nya kosong-- ikut-ikutan mengkafirkan mereka dan pernikahan tidak diakui, akta kelahiran enggak ada. Kartu Keluarga enggak ada. Di sini hakim konstitusi Maria Farida sudah jelas dia mengatakan bahwa permasalahan ini harus dilihat serius, karena tidak mungkin tidak serius, " papar Azhar.

Azhar mengatakan dalam penelitian oleh Komnas Perempuan setebal 135 halaman, bisa ditemukan dengan jelas pelanggaran kontitusional. Itu hanya baru dilihat dari jenis kelamin perempuan.

"Apalagi kalau laki-laki juga diteliti. Hakim konstitusi Wahihuddin Adams dan hakim I Dewa Gede Palguna juga menyatakan ini ada permasalahan serius yang menimpa penghayat dari adanya penelitian Komnas Perempuan, dan akhirnya para hakim menantang pemerintah untuk membuktikan itu dan meminta kajian-kajian penelitian yang sama. Apakah selama ini ada pelanggaran akses pelayanan publik bagi penghayat kepercayaan," paparnya.

Azhar melihat dalam persidangan kemarin, MK beranggapan permasalahan tersebut serius untuk ditindaklanjuti. Sebab dampaknya menutup akses pelayanan publik.

"Bahkan MK akhirnya meminta pemerintah untuk tidak lepas tangan dengan masalah ini karena hingga saat ini pemerintah masih bingung dan masih terjebak dengan diskursus agama dan kepercayaan. Dan lebih memilih untuk mengosongkan kolom agama bagi kepercayaan karena takut ricuh dan lepas tangan. Padahal justru dari kolom agama yang dikosongi itu menimbulkan stigma, dan mayoritas membenci dan mengucilkan masyarakat penghayat," tuturnya.

Azhar menceritakan kalau tidak sedikit dari penganut aliran kepercayaan membohongi identitas agamanya. Mereka terpaksa memilih agama yang berada pada kolom tersebut.

"Agar mudah dan tidak ribet mendapatkan akses pelayanan publik seperti untuk mendaftarkan sekolah anaknya, menikahkan anaknya biar bisa dapat buku nikah, biar bisa minjam di bank dan bisa dimakamkan di pemakaman umum," pungkasnya. (edo/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads