"Kalau di Oxford dan di luar negeri, di AS dan negara maju lainnya, ditekankan self studying (belajar mandiri). Kuliahpun nggak wajib karena nggak absen, nggak ada sistem absensi. Kuliah itu kesadaran masing-masing. Ada beberapa teman yang nggak pernah datang kuliah, ada. Tahu-tahu pas ujian datang," ujar Samuel saat ditemui detikcom di Grand Indonesia yang ditulis Selasa (11/10/2016).
(Baca juga: Universitas Oxford Jadi Perguruan Tinggi Terbaik di Dunia)
Perkuliahan di Universitas Oxford berlangsung Senin-Jumat, sehari maksimal 2-3 jam. Satu mata kuliah rata-rata 1 jam.
"Biasanya dua jam, satu jam-satu jam, materi beda-beda, kadang-kadang bisa 3 jam, kadang-kadang kosong sama sekali," celotehnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mata kuliahnya lebih banyak, namun jam kuliahnya lebih sedikit. Dari perkuliahan, diberikan sangat cepat, akibatnya memang tak terlalu dalam. Dosen cepat namun tak bisa menjelaskan satu per satu dengan detil. Nah, di situlah kita butuh manajemen waktu dan belajar mandiri. Kita perdalam lagi dari internet, perpustakaan, baca buku," imbuh peraih medali perak Olimpiade Kimia Internasional (OKI) tahun 2012 lalu ini.
Samuel sendiri mengatakan menetapkan 6-8 jam belajar di luar kelas perkuliahan setiap hari. Hal itu bisa dilakukannya di kamar hingga perpustakaan.
"Weekend, weekdays di sana saya nggak ada bedanya, kuliah nggak wajib, kalau yang malas sih weekend everyday. Weekend pun saya tetap belajar, tetap ada waktu kosonglah, sehari 24 jam, 10 jam buat belajar masih ada 14 jam. Tidur masih ada 8 jam, masih ada waktu bersosalisasi dan berorganisasi," jelas dia.
Dalam perkuliahan yang singkat itu, bagaimana bila kurang paham materinya? Nah, di sinilah keunggulan sistem pendidikan di Oxford.
"Ada sistem tutorial. Sistem ini tak ada di universitas lain, adanya di Oxford dan Cambridge saja. Sistemnya itu semi privat dengan dosen, sistemnya 1 lawan 2, 1 dosen dan 2 murid. Kita diberikan alokasi seminggu 2 kali, masing-masing sejam. Seminggu 2 jam untuk tutorial masing-masing mata kuliah," paparnya.
(Baca juga: Samuel Putra, Jawara Sains Dunia hingga Lulus Summa Cumlaude di Oxford)
Waktu perkuliahan di kelas, 1 dosen bisa mengajar sampai 100 lebih mahasiswa, yang memberikan sekitar 4 materi perkuliahan plus tugas, latihan alias pekerjaan rumah. Nah bila ada kesulitan mengerjakan tugas itu, bisa dibahas dalam sesi tutorial, di mana 1 dosen hanya melayani 2 mahasiswa.
"Misal, tentang kalkulus kita dikasih latihan soal atau PR yang dikerjakan di rumah. Nah selama tutorial, kita bahas PR itu, konsultasi selama 2 jam. Jadi cukup intensif juga, jadi dosen tahu progress kita di situ. Bagusnya Oxford di situ," jelas dia.
Di Oxford, riset sangat ditekankan. Pertanyaan seimajinatif dan seliar apapun tentang suatu ilmu, sangat diakomodasi. Dosen-dosen di Oxford, menurut Samuel, bekerja paruh waktu. Sepenuh waktunya, sebagai peneliti.
"Jadi, dosen itu mengajarkan ilmu yang terus berkembang, tidak terpaku saja pada buku teori," jelasnya.
Di luar kegiatan akademis, Samuel masih menyempatkan diri berorganisasi dan bersosialisasi. Salah satu organisasi yang diikutinya adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) United Kingdom Cabang Oxford. Di PPI UK Oxford, Samuel sempat menjabat wakil ketua pada periode 2015-2016.
"Di Oxford sendiri ada 30 mahasiswa Indonesia, mayoritas S2 dan S3, S1 mungkin sekitar 5 atau 6 orang. Saya wakil ketua PPI Oxford 2015-2016. Jadi, sebelum itu kan belum establish banget. Saat saya jabat wakil ketua, kami berusaha mendaftarkan PPI Oxford ini ke Oxford University dan sekarang sudah resmi terdaftar. Kita juga mengadakan misalnya di Oxford International Festival, kita buka stan, jualan makanan Indonesia di sana, perkenalkan budaya-budaya Indonesia, pajang baju-baju batik dan sebagainya yang memperkenalkan Indonesia," tutur anak kedua dari 3 bersaudara pasangan Leon Rompas (52) dan Sukian (51) ini.
Samuel juga tergabung dalam tim sepakbola kampusnya karena hobi sepakbola, juga bergabung dalam lembaga student concultancy alias konsultan mahasiswa.
"Kita mahasiswa dilatih jadi konsultan, kita menangani klien usaha menengah yang mau dibantu, untuk peneliti lokal, nggak harus mahasiswa, masyarakat umum juga bisa. Misal mau buka usaha makanan, manajemennya gimana, bisa kita bantu. Atau misal kita bisa bantu City Council Kota Oxford, walikotanya mau coba promosi apa atau membuat perpustakaan baru, kita bantu manajemennya," paparnya.
Belum cukup, Samuel kadang-kadang juga mengikuti kompetisi sains. Sebagai anak muda, Samuel juga tak ketinggalan membuat Vlog alias video blog bersama pasangannya yang juga berkuliah di Inggris.
"Jadi sebenarnya ya kita ngelakuin itu untuk memotivasi anak-anak Indonesia biar mereka melihat, di sana (Inggris) bagaimana sih, standar kehidupan di sana itu gimana. Di sana seperti apa. Kedua, kita sering dapat pertanyaan yang mau kuliah ke Inggris, daripada jawabin satu-satu, kan orang tinggal nonton, nggak perlu ngulang-ngulang (jawabnya)," tuturnya.
Vlogging dilakukan tergantung waktu luang yang dimilikinya. Dia bersama pasangannya berusaha melakukan up date vlog sepekan sekali.
"Semoga banyak yang bisa termotivasi untuk mau bermimpi. Banyak adik-adik di Indonesia yang apa-apa ya sudah kalah sebelum bertanding, pesimis, ngerasa nggak mampu, takut kalah bersaing. Saya sering dapat pertanyaan, 'Kak di sana sering dipandang sebelah mata nggak sih?' Nah, pikiran mereka udah dipandang sebelah mata duluan seperti itu," cerita pemuda kelahiran Jakarta, 23 November 1994.
Dirinya ingin menunjukkan bahwa orang Indonesia, negara yang selama ini dianggap sebagai negara berkembang dan kurang banyak yang tahu, bisa berkompetisi di Inggris.
"Ada lho orang Indonesia yang bisa berprestasi seperti ini dan orang Indonesia di sana itu rata-rata pinter-pinter lho. Nggak kalah, bahkan lebih dengan orang-orang di sana," demikian dia memberikan motivasi.
Saat pulang ke Indonesia pun, Samuel terkadang diminta memberikan motivasi di SMP-SMA. Dia melihat gejala umum pada anak-anak Indonesia yang mimpi berkuliah di luar negeri, yaitu mental block yang besar.
"Saya dengar cerita dari guru-guru mereka, anak-anaknya pintar-pintar, level intelektual sudah tinggi, tinggal bantuan dana dan mental terutama. Yang ada di mindset kebanyakan adik-adik itu, mereka menaruh diri mereka lebih rendah dibanding orang sana (orang luar negeri), mereka memandang orang sana lebih tinggi. Mindset mereka menaruh diri lebih rendah dibanding orang sana. Padahal banyak yang level akademisnya mampu, bahkan lebih tinggi daripada mereka," ujar alumni SMA MH Thamrin ini.
(Baca juga: Lulus Summa Cumlaude di Oxford, Samuel Putra Riset Soal Energi Terbarukan)
"Mindsetnya diubah dulu, kebanyakan problemnya mental block. Kalau berbahasa (Inggris) itu bisa dilatih. Mereka (orang Inggris) tak menuntut kita bisa bahasa Inggris, mereka ngerti, kan Inggris kita buka penutur asli, bukan native mother tongue, mereka nggak ngetawain juga kok, yang penting percaya diri. Belajar bahasa Inggris kan bisa dengan nonton TV, dengar lagu, nonton film, baca artikel online, harusnya nggak jadi masalah," pesannya.
Bahkan, di Oxford, ada kelas untuk melatih mahasiswa asing mendengar aksen British.
"Ketika di sana pasti ada kesulitan, karena beberapa bulan di sana saya nggak ngerti mereka ngomong apa, padahal Inggris saya nggak jelek-jelek amat.
Di Oxford mereka punya kelas British accent, bukan ngelatih kita ngomong, tapi untuk kita ngerti percakapan itu ada kelasnya. Mereka ngerti kok kesulitan international student," jelas dia.
Ditanya mengenai masa-masa culture shock atau gegar budaya saat awal-awal berkuliah di sana, Samuel mengakui sempat ada masa-masa itu. Namun, akhirnya dia menemukan bagaimana cara untuk beradaptasi.
"Di sana orang-orangnya lebih individualis, self centered. Mereka berteman fokusnya tetap pada diri sendiiri. Tipsnya, kita bisa keluar dari comfort zone sih. Contoh, mereka (orang Inggris) kalau gaul ke pub, ke bar, kalau kita ke warung kopi. Sosial mereka memang seperti itu. Kita sebagai orang Indonesia, syok, menutup diri, diajak jadi nggak pergi," kata Samuel.
![]() |
Bila mengalami gegar budaya seperti itu, kuncinya adalah mendorong untuk membuka diri. Bukan berarti harus ikut minum alkohol, bila tak terbiasa minum alkohol.
"Menurut saya itu (bersosialusasi) harus di-embrace (diupayakan), bukan berarti kita minum-minum. Di pub pun kita bisa minta air putih, cola, ya tapi kalau ke pub ikutlah kan kita bisa ngobrol. Minum air putih nggak apa-apa kok, mereka ngerti, nggak memaksa, mereka sama sekali respek tradisi kita. Mereka nggak peduli selama kita bisa joint sama ngobrol, ke depannya harusnya oke," jelas dia.
Pihak kampus pun, imbuh Samuel, mengadakan pekan orientasi untuk membantu mahasiswa asing beradaptasi. Di pekan orientasi itu, mahasiswa asing seperti dari Indonesia bisa berkesempatan untuk bersosialisasi, mencari teman, bergaul dan segala macam. Jadi soal gegar budaya jangan dikhawatirkan.
Oxford juga memperhatikan kesehatan mental mahasiswanya. Karena kuliah dengan jumlah mata kuliah yang banyak, maka kerap mahasiswa tidak kuat. Mahasiswa yang tidak kuat ini diizinkan mengambil cuti kuliah selama satu tahun dan melanjutkan lagi tahun depannya. Biasanya, mahasiswa itu cuti untuk berkegiatan di luar hal akademis seperti kerja sosial atau travelling.
"Saya travelling juga sering keliling Eropa," kata Samuel yang maraton menyelesaikan S1 dan S2 di Oxford ini.
Untuk membiayai travellingnya, Samuel bekerja sebagai guru privat pelajaran sains murid SMP-SMA di Inggris. Hasilnya juga dikumpulkan untuk tiket pulang ke Indonesia setahun sekali. Samuel juga mendapatkan 7 penghargaan selama kuliah di Oxford seperti Tchnos International Award, Deana Lee Awards, BP-Paul Martin Award, Domus Award, Santander TRavel Grant, JCR Travel Grant dan Jardine Award.
"Kalau libur hampir tiap hari sehari 5 jam. Kalau lagi aktif kuliah seminggu 4-8 jam, kadang-kadang sehari 2 jam, besoknya nggak. Itu cukup buat menabung. Di sana aku dapat award juga entah karena prestasi akademik atau sosial di Oxford. Awardnya memang dalam bentuk uang, bisa ratusan bahkan ribuan poundsterling, dari award-award ini untuk travelling dan pulang," tutur Samuel yang kini sudah kembali ke Universitas Oxford mengejar pendidikan dan riset doktoralnya di bidang energi terbarukan ini.
Halaman 3 dari 4
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini