Pangkal masalah ternyata birokrasi pemerintah yang rumit dan panjang. Setelah diketok hakim, Sri Mulyati harus menyurati Menteri Keuangan. Tapi belakangan, Menteri Keuangan melempar bola itu ke Kepolisian yang meminta pembayaran dibayarkan lewat kas Kepolisian.
"Paket reformasi hukum ini nanti harus menyentuh hal-hal seperti yang dialami Sri Mulyati. Harus dibuat mekanisme yang sederhana lewat sistem teknologi yang ada," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Kamis (29/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan melempar-lempar dan berdebat ini dari kas DIPA siapa. Rakyat tahunya ya negara yang mengganti rugi," tutur Bayu.
![]() |
"Paket reformasi hukum juga harus akses masyarakat mendapatkan keadilan," ucap Bayu.
Sri awalnya dituduh mempekerjakan anak di bawah umur di tempat karaoke pada 2011. Padahal, Sri hanyalah kasir. Alibinya tidak dihiraukan aparat dan ia harus menghuni tahanan selama 13 bulan.
Sri baru bisa menghirup udara bebas setelah hakim agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja melepaskannya. Atas kezaliman hukum yang dialaminya, Sri menggugat negara dan dikabulkan. Pada 2012, MA memvonis bahwa negara harus memberikan ganti rugi Rp 5 juta ke Sri.
Namun untuk mendapatkan Rp 5 juta bukan perkara gampang. Birokrasi pemerintah berliku bak hutan belantara. Bertahun-tahun Sri menagih janji pemerintah tapi tidak kunjung dipenuhi.
Nasib serupa juga dialami Andro dan Nurdin yang dituduh membunuh Diki setelah mengalami penyiksaan dan dipaksa mengaku oleh penyidik. Mereka ditahan 2 bulan di Polda Metro dan 9 bulan di Lapas Cipinang. Mereka kemudian diputuskan tidak bersalah oleh hakim.
Bermodalkan salinan putusan MA yang inkrah, Andro dan Nurdin bersama kuasa hukumnya kemudian mengajukan ganti rugi pada sidang pra peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hasilnya mereka menang dan hakim menyatakan mereka berhak mendapatkan ganti rugi Rp 72 juta. Hingga kini, uang ganti rugi itu tak kunjung diterima. (asp/rvk)