Dalam catatan detikcom, Jumat (16/9/2016), salah satu dissenting opinion (DO) yang cukup menarik adalah saat menangani kasus pembunuhan berencana dengan terdakwa Antasari Azhar. Kala itu ia duduk sebagai majelis kasasi dengan ketua majelis Moegiharjo dan anggota Artidjo Alkostar. Menurut keyakinannya, Antasari tidaklah terbukti menyuruh sekelompok orang untuk menghabisi nyawa Nasrudin Zulkarnain.
"Keterangan Sigit yaitu 'Terdakwa bilang harus ada tindakan konkrit untuk menyelesaikan teror, ancaman', tidak dapat dikatakan suatu bentuk penganjuran. Makna kalimat itu agar supaya dilakukan tindakan nyata untuk memberi rasa aman bagi Antasari terlepas dari teror atau ancaman," ujar Surya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu untuk dapat mempersalahkan Antasari, kalimat menganjurkan membunuh korban harus secara tegas dan jelas keluar dari mulut Antasari.
"Hal ini penting menyangkut niat dan pertanggungjawaban pidana," cetus guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar itu.
Meski demikian, Surya Jaya kalah suara dengan Artidjo dan Moegihardjo dalam rapat pada 2010 sehingga di tingkat kasasi Antasari tetap divonis 18 tahun penjara.
Empat tahun setelahnya, Surya kembali membuat pendapat yang berseberangan dengan hakim agung lainnya saat mengadili kasus dr Ayu di tingkat Peninjauan Kembali (PK). Menurut Surya, dr Ayu tetaplah salah dan harus dihukum sesuai dengan putusan kasasi selama 10 bulan penjara.
Surya mengutip keterangan saksi dan ahli di persidangan menerangkan jika emboli terjadi karena:
1. Udara masuk karena terjadi pelebaran atau pembesaran pembuluh darah bersumber pada pemberian obat sebagai akibat reaksi tubuh pasien
2. Udara bukan masuk dari alat infus
3. Udara bisa masuk melalui alat infus atau alat suntik
4. Udara bisa masuk dalam tubuh atau jantung melalui plasenta
5. Sayatan pembuluh darah
"Mengacu para pendapat tersebut, disimpulkan terjadinya emboli masuk pada bilik kanan jantung melalui alat suntik atau infus disebabkan karena kesalahan atau kelalaian para terpidana dalam proses persalinan," ujar hakim agung yang saat menjadi hakim Pengadilan Tinggi Jakarta mengusulkan jaksa Urip Tri Gunawan dihukum seumur hidup.
Baca Juga: Hakim Agung Prof Dr Surya Jaya Beberkan Kesalahan dr Ayu Dkk
Surya berkeyakinan dr Ayu bersalah dan harus dihukum. Pendapat Surya itu melawan empat suara hakim agung lainnya yaitu hakim agung Dr M Saleh (Wakil Ketua MA), hakim agung Maruap Dohmatiga Pasaribu, hakim agung Syarifuddin (kini Wakil Ketua MA) dan hakim agung Margono. Lagi-lagi, Surya Jaya kalah dan dr Ayu dkk bebas.
Di kasus terakhir, Surya kembali memilih berseberangan dengan dua hakim lainnya yaitu Leopold Luhut Hutagalung dan Prof Dr M Askin saat mengadili mantan Bupati Indramayu, Irianto MS Syarifudin alias Yance. Di kaca mata Surya, Yance tidak bersalah sama sekali dalam pembebasan lahan PLTU di Indramayu, di mana kala itu Yance adalah bupatinya.
"Terdakwa seharusnya diberi penghargaan karena masyarakat dapat keuntungan yang sangat besar. Pemerintah berhasil mengatasi krisis listrik dengan proyek PLTU I Indramayu, Jabar sehingga masyarakat bisa menimkati listrik dan berdampak positif bagi aktivitas ekonomi masyarakat," cetus Surya.
Baca Juga: Sitir Keterangan JK, Hakim Agung Surya Jaya Tidak Setuju Yance Dibui
Tiga kasus di atas hanyalah tiga di antara ribuan perkara yang ditangani Surya Jaya sejak menjadi hakim agung sejak 2009 silam. Dari ribuan putusan itu, Surya terus memberikan warna dalam putusan-putusannya. Hal itu sesuai UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terutama Pasal 14 ayat 3 yang berbunyi:
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. (asp/trw)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini