Pierre Cardin Milik Orang Jakarta: Antara Kepastian dan Keadilan Hukum

Pierre Cardin Milik Orang Jakarta: Antara Kepastian dan Keadilan Hukum

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 11 Sep 2016 17:29 WIB
Pierre Cardin (pierrecardin.com)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memutuskan merek Pierre Cardin milik adalah orang Kayu Putih, Jakarta Timur, Alexander Satryo Wibowo, bukannya desainer asal Prancis, Pierre Cardin. Dalam memutusnya, MA seakan di persimpangan jalan: kepastian hukum atau keadilan hukum.

Sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Minggu (11/9/2016), kemenangan Alexander Satryo Wibowo karena mendasarkan pada asas 'first to file' yang lazim dikenal dalam hukum kekayaan intelektual. Alex mendaftar dan mengantongi hak eksklusif merek Pierre Cardin pada 29 Juli 1977, sedang pemilik 'asli' merek Pierre Cardin baru mendaftarkannya di Indonesia pada tahun 1999.

"Pada saat melakukan pendaftaran merek atas merek tersebut, merek tersebut Pierre Cardin Prancis tidak pernah terdaftar dan dikenal, sehingga pada dasarnya pendaftaran tersebut tidak diterima," kata ketua majelis hakim Mahdi Soroinda Nasution dengan anggota hakim agung Nurul Elmiyah dan hakim agung Hamdi sebagaimana dikutip detikcom dari website MA, Minggu (11/9/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pandangan di atas menganut asas kepastian hukum sebagaimana diinginkan oleh UU 15/2001 tentang Merek. Namun asas kepastian hukum dalam kasus di atas membuat seorang hakim agung memilih dissenting opinion. Hakim agung ini menilai berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan tanpa harus membuktikan adanya iktikad tidak baik, ditinjau dari etika dan moral, pendaftaran merek Pierre Cardin milik Tergugat dengan dalih merupakan pengguna pertama dan telah terdaftar terlebih dahulu di Indonesia tidak dapat dibenarkan.

"Karena dengan sendirinya telah terbukti pendaftaran merek 'Pierre Cardin' oleh Tergugat dilakukan dengan iktikad tidak baik yaitu telah membonceng, atau meniru atau menciplak ketenaran merek 'Pierre Cardin' milik dan sekaligus nama asli Penggugat yang telah terdaftar terlebih dahulu di Negara asalnya dan juga diberbagai Negara, dan pula sejak awal tidak terbukti adanya kerja sama antara Penggugat dan Tergugat dan atau izin dari Penggugat kepada Tergugat dalam penggunaan merek
dagang dengan logo 'Pierre Cardin' sehingga hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum," ujarnya.

Ia menambahkan, merek dagang suatu produk tidak hanya bermakna sekedar nama atau tulisan, akan tetapi lebih jauh juga mengandung arti dan yang dapat berhubungan langsung dengan produk yang maksud bersangkutan. Di samping itu merek atau nama yang tertulis pada suatu produk juga dapat merupakan ciri atau pembeda dari daerah mana (dalam negeri) atau dari negara mana (luar negeri) asal-usul produk tersebut, yang dalam perkara a quo nama atau tulisan produk yang digunakan Penggugat adalah 'Pierre Cardin' yang merupakan nama asli Penggugat.
Sedangkan nama atau tulisan produk yang digunakan Tergugat juga 'Pierre Cardin' yang terbukti sama pada pokoknya, dan terbukti pula kedua nama atau tulisan tersebut bukan merupakan bahasa atau tulisan dalam bahasa Indonesia.

"Akan tetapi merupakan bahasa atau tulisan dalam bahasa asing yang merupakan bahasa Negara asal Penggugat," cetusnya.

Rapat majelis berakhir deadlock dan diambil suara terbanyak dan dengan skor 2:1 dan dimenangkan Pierre Cardin Indonesia.

Kelemahan sistem merek di Indonesia diakui oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkum HAM.

"Pendaftaran merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file) lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek, namun sampai saat ini sistem pendaftaran first to file di Indonesia belum efektif menciptakan keselarasan jaminan keadilan dan kemanfaatan, karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik merek yang sebenarnya," ujar BPHN yang dituangkan dalam Naskah Akademik RUU yentang Hak Kekayaan Industri. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads