Gugatan Daulay terdaftar dengan Nomor 67/PUU-XIV/2016. Psal yang digugat adalah pasal 310 ayat 1,2,3 dab 4 UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Sebagai akibat tidak adanya penafsiran dalam Pasal 310 UU a quo, sepanjang kata 'kelalaiannya' dan frasa 'orang lain' maka Pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat melanggar hak
konstitusional Pemohon," kata Daulay sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Konstitusi (MK), Minggu (11/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 1 juta.
2. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 juta.
3. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 juta.
4. Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12 juta.
"Kata 'kelalaiannya' dalam Undang-Undang a quo tidak memberikan definisi dan penjelasan mengenai dalam kondisi apa dan bagaimana seseorang dapat dinyatakan melakukan kelalaian," ucap Daulay.
Atas tidak terdefinisikannya pasal itu, maka Daulay merasa hak konstitusionalnya terampas dan melanggar Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28G ayat 1. Pasal 28D ayat 1 berbunyi:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sedangkan Pasal 28G ayat 1 berbunyi:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
"(Pemohon meminta MK) memberikan penafsiran yang lebih khusus atas Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sepanjang frasa 'kelalaiannya' dan 'orang lain'," tuntut Daulay.
Menurut catatan detikcom --dalam tradisi hukum Indonesia-- tafsir 'kelalaian' ditemukan dalam doktrin para ahli pidana, bukan dalam hukum positif. Salah satunya menurut Prof Dr Wirjono Prodjodikoro yang tertulis dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia yaitu kelalaian/culpa adalah 'kesalahan pada umumnya', tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.
Sedangkan, Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang tersebut, padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.
Tapi dalam praktik sistem hukum di Indonesia, doktrin itu menjadi sumber hukum yang paling lemah. (asp/rvk)