Menurut Semendawai, masih banyak hak-hak korban kasus terorisme yang belum terakomodir baik dalam pengakuan atas hak itu sendiri maupun mekanisme pemberian haknya.
"Kadang meskipun hak tersebut sudah diakui dalam perundang-undangan tapi karena mekanismenya sulit untuk dilaksanakan maka menyebabkan hak itu tidak dapat diperoleh oleh saksi korban, misalnya hak untuk korban teroris seperti kompensasi, sudah jelas disebut korban teroris berhak untuk dapat kompenasasi yaitu ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban teroris tapi syaratnya harus ada putusan pengadilan. Nah pertanyaannya, bagaimana kalau ternyata tidak ada pengadilan?" ujar Haris di Hotel Aryaduta, Jalan Prapatan, Jakarta Pusat, Kamis (08/09/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah ini kan jadi tidak adil, apakah kita tidak bisa menggunakan cara atau metode yang lebih sederhana sehingga korban ini bisa memperoleh haknya?" lanjut Haris.
Metode sederhana yang dimaksud bisa berupa skema, skema yang pertama bahwa keterangan tentang siapa korban bisa dikeluarkan oleh kepolisian dan karena kepolisian bisa mengidentifikasi siapa korban dan siapa pelaku maka keterangan dari kepolisian itu adalah bukti yang menyatakan siapa para korban.
Yang kedua skema apabila korban meninggal berapa kompensasinya dan jika korban mengalami cacat permanen berapa ganti ruginya.
"Nah dengan skema itu tanpa putusan peradilan pun kita tinggal lihat kondisi di lapangan kalau dia meninggal berarti ganti ruginya sebesar ini jadi tinggal dilaksanakan aja tanpa harus susah," terang Haris
Dia berharap mekanisme tersebut dipermudah dan aturan yang dibahas tidak saling tumpang tindih.
"Ini momentum yang tepat untuk kita, aturan ini harus dimanfaatkan maksimal untuk memenuhi hak korban dan jangan sampai tumpang tindih, ada banyak aturan tentang korban atau saksi tapi jangan sampai satu dengan yang lain bertentangan malah jadi mempersulit korban untuk peroleh haknya," tutup Haris. (asp/asp)