Batu itu merupakan hanya fenomena geologi, bukan lainnya. Tak ada jejak peradaban manusia di bebatuan itu. (Baca juga: Fenomena Alam di Purworejo, Batu Berundak Dampak Longsor ini Dikira Candi)
Bila menilik lebih jauh, bebatuan ini tak jauh berbeda dengan bebatuan yang ada di Gunung Padang Cianjur. Batu columnar joint yang disusun bak punden berundak. Bila di Gunung Padang para arkeolog sudah memastikan tempat itu merupakan situs arkeologi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menurut Ali, yang pasti di Purworejo adalah batuan Kekar Tiang (Columnar Joint). Columnar Joint alami dapat berupa susunan yang vertikal, miring atau diagonal, maupun horisontal. Penampang batuan atau irisannya persegi, umumnya segi lima dan panjangnya bisa sangat panjang bermeter-meter tanpa putus.
"Pada Masa Prasejarah di Indonesia, batuan Kekar Tiang yang awalnya alami oleh masyarakat pada masa itu ditambang atau dipotong-potong dan dibawa ke suatu lokasi untuk membuat bangunan atau struktur bertingkat. Penampangnya atau irisannya tidak diubah, tetapi panjangnya dipotong-potong. Bangunan bertingkat tersebut ukuran tingkat bagian bawah lebih besar dan berturut-turut semakin ke atas semakin kecil ukurannya yang lazim disebut sebagai punden berundak," jelasnya.
"Pada tahap tersebut, batuan alami yang telah diubah atau dimodifikasi manusia disebut artefak (artifact) atau artificial factual. Situs Gunung Padang di Cianjur adalah contoh paling mudah bahwa batuan yang awalnya alami di suatu lokasi kemudian dipotong-potong lalu dibawa dan disusun di suatu bukit sehingga menghasilkan punden berundak. Bukit yang akhirnya disebut sebagai Situs Gunung Padang mempunyai orientasi ke Gunung Gede dan Pangrango yang jauh lebih tinggi dan besar ukurannya," sambungnya lagi.
Lalu bagaimana dengan batuan di Purworejo? Ali menyampaikan apresiasi kepada para arkeolog yang telah meninjau ke lokasi. Jika memang batuan tersebut masih dalam formasi alami, maka masih perlu diteliti tiga kemungkinan lainnya. Tiga kemungkinan ini menarik untuk ditelisik mengingat batu Kekar Tiang bentuknya tergolong unik sehingga bangsa Indonesia mungkin memandangnya secara istimewa dan akhirnya digunakan sebagai bagian dari kebudayaan atau peradabannya.
"Pertama, adakah kemungkinan terdapat situs dengan menggunakan batuan Kekar Tiang karena materialnya ternyata tersedia di sekitar situs. Di Situs Gunung Padang, lokasi batuan alami terdapat sekitar 700 meter di selatan situs. Kedua, adakah kemungkinan justru bukit Kekar Tiang alami yang sedemikian besar tersebut justru menjadi pusat atau arah orientasi situs-situs di sekitarnya. Dalam konsep ini, seperti halnya contoh Gunung Gede dan Pangrango yang menjadi pusat orientasi Situs Gunung Padang dapat disebut sebagai Ecofact atau Ecological Factual. Fenomena alami tersebut telah diberi makna budaya oleh masyarakat kala itu sehingga sebenarnya merupakan bagian yang integral dalam sistem kebudayaan atau peradaban masyarakat," jelas dia.
Ketiga, lanjut Ali, pada masa yang lebih muda yakni masa Sejarah dengan Kebudayaan Hindu dan Buddha yang dimulai sekitar abad ke-4 Masehi dengan contoh peninggalan berupa candi, batuan Columnar Joint justru digunakan untuk membuat prasasti. Sisi columnar joint diratakan atau dipangkas lalu dipahat tulisan dan batu tersebut ditancap di tanah, misalnya prasasti atau yupa Kerajaan Kutai di Kalimantan dan prasasti Kota Kapur peninggalan Kerajaan Sriwijaya.
"Prasasti-prasasti di sekitar Purworejo yang bentuknya seperti tugu batu mungkin bisa diidentifikasi ulang dan akhirnya kini bisa diperkirakan sumber batuannya. Selain digunakan sebagai prasasti, columnar joint juga digunakan sebagai tugu penanda seperti misalnya tugu di samping prasasti Batu Tulis di Bogor peninggalan Kerajaan Pajajaran dan tugu atau Cancangan Gajah di Trowulan peninggalan Kerajaan Majapahit," tutup dia. (slm/dra)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini