Ironi Demokrasi dan Kaum Santri

Ironi Demokrasi dan Kaum Santri

Sudrajat - detikNews
Senin, 08 Agu 2016 10:54 WIB
Ironi Demokrasi dan Kaum Santri
Mastuti, penulis buku, "Kebangkitan Santri Cendekia". (Foto: Sudrajat/detikcom)
Jakarta - Demokrasi yang diagung-agungkan akan melahirkan kebebasan dan keterbukaan di era reformasi ternyata justru memasung kreativitas masyarakat muslim. Para tokoh muslim terjebak pada perdebatan dan pertentangan politik yang tidak produktif, hanya sekedar berebutan mendirikan partai. Sementara agenda reformasi yang diusung dan disuarakan banyak pihak juga sekedar retorika.

"Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi kehidupan politik di era Orde Baru," tulis Mastuki HS dalam karya terbarunya, "Kebangkitan Santri Cendekia" yang diluncurkan di Museum Kebangkitan Nasional, Sabtu (6/8) pekan lalu.

Peluncuran buku, "Kebangkitan Santri Cendekia" karya Mastuki HS. (Foto: Sudrajat/detikcom)


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam suasana represif Orde Baru, birokrat di Kementerian Agama itu melanjutkan, kreatifitas para tokoh muslim tersalur sedemikian rupa sehingga melahirkan "ruang sosial-budaya-politik" yang sangat mengesankan. Tapi memasuki era reformasi, kelas menengah muslim-santri yang seharusnya menjadi intermediary antara public dan state dalam menciptakan civil society yang kuat tidak memerankan diri secara baik.

Mastuki mencatat, puak santri (muslim) muncul dalam jumlah banyak pada era 1980-an. Hal ini ditengarai karena adanya perubahan-perubahan sikap politik umat Islam di satu sisi, dan di sisi lain akibat membaiknya ekonomi umat serta akses terhadap pendidikan yang relatif terbuka. Padahal kala itu justru terjadi depolitisasi terhadap umat Islam oleh rezim Orde Baru yang semakin kuat.

Tapi berkah yang diperoleh adalah terbukanya saluran dan ruang mobilitas baru berupa akses-akses jangka panjang di bidang media, dakwah, birokrasi, seni, budaya, ekonomi, dan lain-lain.

Penggerak semua itu adalah kelas menengah santri yang telah mengalami intelektualisasi di lembaga-lembaga pendidikan modern (umum dan Islam, di dalam dan luar negeri). "Mereka inilah yang saya namakan santri cendekia," kata Mastuki menegaskan kepada detikcom sebelum acara peluncuran buku tersebut.

Buku setebal 438 halaman yang diterbitkan Pustaka Compass ini merupakan modifikasi dari disertasi doktoral Mastuki di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 2008. Sebelumnya Mastuki juga telah menulis lebih dari lima buku, diantaranya "Teologi Pendidikan; Tauhid sebagai Paradigma Pendidikan" pada 2000, "Menelusuri Perkembangan Madrasah di Indonesia" (2002), serta "Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran" (2003).

Dalam bab terakhir buku ini, Mastuki menyinggung bermunculannya berbagai gerakan Islam garis keras di era reformasi. Ironisnya, tulis dia, justru warga keturunan Arab yang menjadi motornya, seperti Jafar Umar Thalib (Lasykar Jihad), Habib Rizieq (Front Pembela Islam), Abu Bakar Baasyir (Majelis Mujahidin Indonesia), Al Habsyi (Jamaah Ikhwan al Muslimun Indonesia).

"Meski agenda utamanya adalah menegakkan syariat Islam tapi dalam implementasinya masing-masing punya cara dan media berbeda," tulis Mastuki seperti dikutip detikcom, Senin (8/8/2016).

Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Prof Dr Mudjia Rahardjo dalam testimoninya menyebut istilah 'Santri Cendekia' yang disodorkan Mastuki sebagai nomenklatur baru yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut oleh kalangan akademisi di perguruan tinggi Islam.

Terlepas dari itu, dia menilai buku ini berhasil mengungkap sisi penting pertumbuhan dan perkembangan kelas menengah santri sepanjang Orde Baru. Mudjia menyebut di era ini menjadi periode krusial yang penuh dinamika dalam hubungan Islam dan negara di Indonesia.

"Santri yang mewakili kelompok muslim terlibat secara intensif dalam organ-organ Orde Baru meski kerap dicurigai," tulis Mudjia. (jat/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads