Wajib Iri

Anyonghaseo (20)

Wajib Iri

M Aji Surya* - detikNews
Senin, 11 Jul 2016 16:23 WIB
Wajib Iri
Foto: M Aji Surya
Seoul - Anyonghaseo. Iri yang biasa dikonotasikan negatif, bisa dijadikan stimulan positif. Sama juga dengan cemburu, iri membuat manusia menjadi lebih bergairah untuk merengkuh hal-hal yang baik. Melihat perkembangan yang luar biasa di tempat lain namun tidak dikerjakan di negeri sendiri benar-benar membuat banyak orang gemes, "iri" dan "cemburu buta".

Suatu sore di hari Sabtu, saya dan seorang teman lama makan di mal cukup megah di tengah kota Seoul. Bisa dibayangkan, di awal bulan ini, mal yang saya kunjungi sangatlah ramainya. Selain kantong masyarakat belum sempat kering, inilah waktunya untuk belanja sale musim panas. Ada diskon 50 hingga 80 persen.

Tenda penjual makanan dan minuman (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Sebagai orang yang berpenghasilan sedang, makanan yang kita pesan tergolong biasa saja. Namun yang cukup mewah adalah, isi perbincangan saya dengan teman. Maklumlah sudah lama tidak bertemu. Setelah hampir satu jam membuat ludes makanan, maka kita segera enyah untuk memberikan kesempatan pelanggan lain duduk.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika kita mau keluar mal, baru sadar bahwa hape mahal teman saya, Iphone 6S, tertinggal di meja makan. Kontan ia gusar, namun saya berusaha menenangkan. Menggunakan eskalator, satu persatu lantai kita jalani sambil ngobrol. Dan belum juga sampai ke restoran tempat makan, terlihat dua pelayan restoran tergopoh-gopoh.

Mereka sepertinya mencari seseorang. Dan benar juga, kita berdualah yang dicari. Sambil membungkuk, salah satunya menyerahkan hape mahal warna gold itu ke teman saya. "Tuan, hape ini pasti Anda sangat butuhkan. Maaf tadi saya tidak melihat tertinggal di restoran," ujarnya dengan penuh takzim.

Teman saya melongo. "Ini kejadian langka. Mungkin sulit terjadi di kota saya. Saya iri sekali," ujarnya bergumam sangat serius. Saya sendiri tidak kaget. Sudah cukup lama mendengar bahwa hape yang tergeletak dimanapun di Korea biasanya kembali ke pemiliknya, entah cepat atau lambat.

Dua hari kemudian, saya dan istri bepergian menggunakan kereta cepat KTX dari Seoul ke kota terbesar kedua di Korea, Busan. Karena terburu-buru, tiketnya tertinggal di rumah. Kita hanya ingat nomor gerbong dan tempat duduknya. Istri saya, seperti biasa gusar. Khawatir kena denda yang berlipat-lipat di atas kereta. Namun saya berpikiran positif saja, bahwa kalau kita tidak nyolong, pasti aman.

Suasana Kereta KTX

Perjalanan kisaran 450 km yang ditempuh kurang dari 3 jam tersebut berjalan mulus, karena kita tertidur pulas sampai tujuan. Rupanya, petugas di atas kereta tidak pernah menanyakan karcis yang sudah kita beli, apalagi membolongi seperti yang ada di kereta kita. Mereka percaya saja bahwa kita sudah membayar sesuai aturan yang berlaku meskipun saat masuk ke stasiun, peron dan kereta tidak pernah dilakukan pengecekan.

Apakah banyak penumpang gelap? Wallahu a'lam bisawab, ilmu alam susah dijawab. Yang jelas, penumpang dibuat nyaman dan senang. "Kepercayaan seperti ini yang membuat saya cemburu," ujar istri saya dengan muka ketekuk, entah apa yang ada dalam pikirannya.

Lain lagi cerita di Busan. Seorang teman yang tinggal disana mengajak saya untuk menikmati eksotika makanan masa lalu, yakni es serut, atau di Palembang dikenal dengan es kacang merah. Teman saya hanya ingin menunjukkan ke saya bahwa orang Korea itu, selain mengejar teknologi setinggi langit, masih mempertahankan budaya lamanya.

Benar juga, di tengah pasar Nampo Dong yang begitu ramai dan panas, banyak tenda yang di bawahnya nenek-nenek menjual es serut, atau bahasa setempatnya disebut bingsu. Es balok itu dihancurkan dengan mesin tangan dan dituang dalam mangkok. Lalu di atasnya dikucuri susu dan terakhir diberi topping kacang merah. Dengan 4000 won (Rp 45 ribu), tenggorokan terasa dingin, lidah pun bisa mencicipi rasa manis dan gurih. Suasana pasar membuat nuansa masa lalu menjadi lebih kental.

Es serut 'Bingsu'

Uniknya, yang membeli bingsu adalah anak-anak ABG yang keren-keren. Kalau lihat gesturnya, sepertinya mereka sangat menikmati. Bahkan banyak yang satu mangkok berdua sambil pacaran.

Nah, saat sebagian pelanggan anak muda itu pergi, ternyata ada belanjaan (sepertinya sebuah tas cukup bermerk) yang tertinggal di atas kursi plastik. Ketika sang nenek pemilik warung tahu, ia menyambar belanjaan tersebut sambil teriak-teriak. Bahkan kemudian ia lari meninggalkan warung mencari sang pemilik tas. "Neng, belanjaanmu ketinggalan," kira-kira begitu.

Seorang teman saya yang ikut menikmati es serut siang itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia tidak menyatakan apapun. Ia hanya tertegun. Mulutnya terkunci rapat, matanya tidak berkedip menatap sang nenek dengan penuh keheranan. Kali ini, saya bisa menebak dengan jitu. Dengan mimik seperti itu, pasti ia sedang "iri". Mungkin ada jutaan pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya. Yang hampir pasti, ia berharap hal sama terjadi di lingkungan rumahnya di tanah air tercinta.

*Penulis adalah WNI tinggal di Korea (ajimoscovic@gmail.com) (try/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads