"Diperkirakan dibutuhkan dana Rp 2,5 miliar untuk beberapa kali eksekusi. Dana tersebut nantinya tidak akan dipegang kejaksaan, melainkan langsung dikelola Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selaku eksekutor," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejagung Bambang Setyo Wahyudi, seperti dikutip dalam situs Kejagung, Kamis (2/6/2016).
Bambang mengatakan, pihaknya sudah mengajukan biaya eksekusi tersebut ke dalam pagu APBN Perubahan 2016. Opsi lain, kata Bambang, yakni dengan meminta biaya langsung ke pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung, permintaan biaya langsung ke pemerintah diperbolehkan karena Kejagung memiliki posisi sebagai jaksa pengacara negara (JPN) dalam perkara Supersemar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena dari 113 buah rekening/deposito/giro terdapat 57 yang berada di luar yuridiksi PN Jakarta Selatan, maka kejaksaan dikenai biaya tambahan peletakan panjar sita eksekusi. Demikian pula dengan penyitaan tanah dan bangunan yang berada di luar yuridiksi PN Jakarta Selatan. Disamping itu, Kejaksaan juga harus menanggung biaya lain yang akan timbul dari eksekusi seperti biaya pengamanan, biaya pengosongan rekening, biaya pengosongan tanah, biaya lelang mobil dan biaya delegasi.
Mahkamah Agung (MA) menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan dana sebesar Rp 4,4 triliun ke negara. Jumlah tersebut merupakan total dana yang diselewengkan yayasan yang diketuai Presiden RI kedua sejak 1974 hingga lengser dari kursi presiden.
Dalam putusan peninjauan kembali (PK), hakim agung Suwardi, hakim agung Soltoni Mohdally dan hakim agung Mahdi Soroinda Nasution menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Alhasil, Yayasan itu dihukum mengembalikan 75 persen dana yang terkumpul sejak 1974 dengan asumsi 25 persen dana telah disalurkan ke yang berhak.
(nwy/asp)











































