Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Khadafi menilai kecil kemungkinan penyebabnya adalah masalah gaji atau fasilitas yang berbeda antara anggota dan pimpinan DPD. Secara fasilitas memang pimpinan DPD mendapatkan rumah dan mobil dinas juga protokol yang melekat, namun dari segi gaji, anggota DPD sebenarnya lebih besar karena mendapatkan tunjangan akomodasi.
Berbagai spekulasi pun muncul ke permukaan, mulai adanya motif syahwat kekuasaan karena ada segelintir anggota DPD yang ingin menjadi pimpinan DPD, bahkan konon ada yang sedang mengejar rekor Muri karena pernah memimpin tiga lembaga di Senayan. Masih banyak spekulasi lain diembuskan sampai yang paling remeh soal karena pimpinan DPD bisa sering bertemu presiden, bahkan soal pimpinan yang punya kesempatan sering ke luar negeri. Isu adanya pihak yang ingin 'balas dendam' juga mengemuka di DPD mengiring isu 'kudeta pimpinan DPD' ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini memang persoalan kepemimpinan di DPD. Ini bukanlah soal rebutan kekuasaan atau rebutan fasilitas. Tapi memang leadershipnya yang kurang dan nggak cocok untuk saat ini, komunikasinya ke bawah juga kurang oke. Maunya Ketua DPD kan aman-aman saja, tapi kan kalangan anggota DPD menghendaki DPD ini semakin kuat. Makanya mereka berjuang untuk merebut kekuasaan itu," kata Uchok.
Akhirnya muncullah pasal 'siluman' dalam revisi Tatib DPD RI. Pasal yang disisipkan di tikungan terakhir itu berisi pembatasan masa kerja pimpinan DPD menjadi hanya dua setengah tahun dan hanya bisa diperpanjang satu periode lagi. Masih ditambah lagi pimpinan DPD harus membuat laporan pertanggungjawaban setiap tahunnya dan tentu saja ada risiko ditolak dan diberhentikan dari kursi pimpinan DPD.
Menyadari 'dikudeta' tentu saja pimpinan DPD menolak meneken Tatib tersebut. Persoalan pun jadi panjang, BK DPD yang dipimpin oleh AM Fatwa pun turut bergerak memproses aduan sejumlah anggota DPD yang melontarkan mosi tak percaya kepada para pimpinan DPD. Situasi di DPD semakin rumit saat BK DPD yang seharusnya jadi hakim dalam persoalan semacam ini berada di posisi 'serang'.
Pimpinan DPD sendiri bersikeras menolak meneken tatib yang baru tersebut. Draf tatib tersebut dinilai bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Mereka pun meminta pertimbangan ke Mahkamah Agung pada 24 Maret 2016. Pimpinan DPD juga sudah menemui Presiden Jokowi mendiskusikan persoalan ini yang dikhawatirkan setelah pimpinan DPD dikudeta bisa berimbas pada tatanan kenegaraan lainnya.
Lalu apakah ujung pergerakan 'kudeta pimpinan DPD' ini? Adakah solusi untuk menjadikan DPD kembali adem ayem, ataukah tiga pimpinan DPD benar-benar diganti?
(van/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini