"Izin Amdal sama peraturan harus dipikirkan. Kapal tertabrak oleh kapal reklamasi itu harus dipikirkan. Saya khawatirkan Pemprov ingin menghilangkan rakyat atau nelayan. Contohnya masyarakat pasar ikan hidup di perahu, di Cilincing hilang. Reklamasi merupakan pembunuhan massal," ujar anggota FKNA, Syaipuddin dalam jumpa pers Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta di LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).
Koalisi ini juga mempertanyakan izin analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) terkait reklamasi yang kini diputuskan pemerintah pusat untuk dihentikan sementara alias moratorium.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Muara Angke ada 4 RW, yang diundang (terkait proyek reklamasi) kenapa di luar RW tersebut. Di Pluit ada 21 RW," ujar dia.
"Jelas nelayan akan tertindas dan terbuang dari Teluk Jakarta. Tidak bisa disamakan dengan nelayan modern yang bisa berbulan-bulan di laut tetapi kita tidak bisa," imbuh Syaipuddin.
Sementara itu perwakilan dari Walhi, Munhur Satyahaprabu, menyebut moratorium reklamasi merupakan langkah politik. "Langkah politik tidak cukup, sanksi hukum harus ditegakkan," jelasnya.
"Nelayan mungkin akan lebih jauh mencari (ikan). Bila dilanjutkan pembunuhan massal bagi nelayan. Mereka jadi pemulung, kuli bangunan, dan berdampak meningkatnya kriminalitas," sebut Muhnur.
(fdn/fdn)











































