"Sejak awal 2 Raperda bermasalah. Ketika pandangan umum dari 9 fraksi, 1 fraksi menolak 4 fraksi menyetujui dengan catatan. Sebelum dibahas Raperda harus dilakukan kajian mendalam aspek sosial ekonomi. Tapi karena Raperda dipaksakan dibahas," ujar Verry dalam diskusi Polemik Sindotrijaya bertajuk Reklamasi Penuh Duri di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/4/2016).
Dua raperda yang dimaksud Verry adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda Zonasi Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Dugaan kongkalikong terkait pembahasan Raperda ini yang diduga ada kaitannya dengan kasus suap M Sanusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dua minggu paripurna, pembahasan dilakukan Balegda, yang ikut rapat Balegda hanya 30 persen anggota Balegda. Dari pemaksaan itu, kita paripurna pengesahan berkali-kali tidak pernah kuorum. Terakhir 3 fraksi menolak terhadap pengesahan paripurna. Paripurna 4 kali tidak pernah kuorum," sambung dia.
Verry menyebut berkembangnya opini publik atas kasus Sanusi dan reklamasi yang kini jadi sorotan, tidak ada kaitannya dengan upaya menjegal Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Kalau persoalan mendukung Ahok dan reklamasi ini beda. Mohon maaf menurut saya persoalan reklamasi bukan ingin menjatuhkan Ahok. Gubernur belum diapa-apain, persoalan reklamasi persoalan hukum sehingga kami juga melakukan rapat pimpinan dan sudah diputuskan untuk menunda pembahasan reklamasi untuk anggota dewan berikutnya," tutur Verry.
Terkait kasus suap raperda reklamasi, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka yaitu M Sanusi selaku Ketua Komisi D DPRD DKI dan Presdir PT Agung Podomoro Land (PT APL) Ariesman Widjaja serta Trinanda Prihantoro selaku Personal Asistant di PT APL.
M Sanusi ditangkap KPK Kamis (31/3) malam dengan sangkaan menerima suap sebesar Rp 2 miliar yang diberikan dalam dua tahap dari PT APL. Barang bukti yang diamankan KPK saat operasi tangkap tangan sebesar Rp 1,14 miliar. (fdn/tor)











































