Benarkah Sindiran Presiden ke DPR yang Senang Bahas Banyak UU?

Benarkah Sindiran Presiden ke DPR yang Senang Bahas Banyak UU?

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 31 Mar 2016 12:31 WIB
Benarkah Sindiran Presiden ke DPR yang Senang Bahas Banyak UU?
Ilustrasi (lamhot/detikcom)
Jakarta - DPR mempertanyakan sindiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan parlemen senang membahas banyak UU tapi hanya demi mengejar kuantitas, bukan kualitas. DPR keberatan dengan sindiran itu karena tugas DPR salah satunya adalah fungsi legislasi.

Tapi benarkah sindiran itu? Sebagaimaan dikutip dari buku "Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia", Kamis (31/3/2016), pernyataan Jokowi selaras dengan riset ilmiah di bidang hukum itu.

Dalam buku yang membedah 428 UU yang dibuat pada 1999-2012 terungkap banyak UU yang cenderung dipaksakan. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Dr Bayu Dwi Anggono yang diuji di depan para guru besar Universitas Indonesia (UI) dengan hasil sangat memuaskan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apa yang disampaikan penulis (Dr Bayu Dwi Anggono-red) sejalan dan membuktikan atas apa yang pernah saya sampaikan dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Perundang-undangan pada FH UI. Sejak bergulirnya reformasi yang ditandai dengan perubahan UUD 1945, telah terjadi perubahan pemahaman dan paradigma dalam pembentukan UU," kata guru besar UI Maria Farida Indrati dalam pengantar buku.

"Ada kecenderungan pembentuk UU semakin boros dan terlalu membesar-besarkan persoalan," sambung Farida yang kini juga menjadi hakim konstitusi itu.

Baca: Hakim Konstitusi Farida: Ada Kecenderungan Pembentuk UU Semakin Boros!

Seperti UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian yang dinilai tidak tepat menjadi UU karena juga diatur dalam UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Selain itu, penyuluhan juga diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ada pula UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan yang dinilai tidak layak menjadi UU karena materi di UU ini cukup diatur lewat Keputusan Presiden (Keppres). Selain itu, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga dinilai tidak tepat menjadi UU sebab materinya banyak tersebar di berbagai peraturan. Seperti di KUHP, UU No 8/1992 tentang Perfilman, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pada 2009, DPR juga mengetok UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Padahal materi dalam UU Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika cukup diatur dalam Peraturan Presiden. Ada pula UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan padahal sudah ada UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

UU Rumah Sakit yang disahkan pada 2009 juga dinilai tumpang tindih dengan UU Kesehatan sehingga pengaturannya cukup dalam Peraturan Pemerintah (PP) karena bagian dari pelayanan keseharan. Apalagi dalam Pasal 35 ayat 4 UU Kesehatan disebutkan ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku.

Ada juga UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka yang dinilai kurang tepat karena hanya mengadopsi AD/ART Gerakan Pramuka yang dikuatkan oleh Keppres Nomor 24 Tahun 2009. DPR juga mengesahkan UU Penanganan Fakir Miskin, padahal materinya sudah sudah terkandung dalam pasal 23 UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Pasal 23 tersebut mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP). Selain itu, UU Kesejahteraan Sosial juga mengamanatkan dibentuknya PP soal penanggulangan kemiskinan.

Baca: Presiden Sindir DPR yang Senang Bahas Banyak Undang-undang

Menurut Farida, saat ini banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat Peraturan Presiden (Perpres) tetapi justru diatur lewat UU. Padahal kalau lewat Perpres pelaksanaannya lebih sederhana dan anggaran relatif kecil.

"Oleh karena itu, dalam pidato tersebut saya berharap agar ke depan perlu dilakukan penelusuran yang cukup tentang materi muatan menyangkut permasalahan yang diatur," ujar Farida menyitir pidato pengukuhan guru besarnya pada 2007 silam. (asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads