"Anak jalanan rentan jadi objek seksual, objek ekonomi, objek kekerasan dan pedagangan," kata Susanto saat berbincang, Senin (28/3/2016).
Dijelaskan Susanto, anak jalanan setidaknya terbagi dalam 4 tipologi. Pertama, anak yang tereksploitasi. "Ia di bawah tekanan dan sulit untuk keluar lingkaran jaringan eksploitasi," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tak sedikit anak terpaksa mengamen, karena ayahnya meninggal/cerai, sementara ibunya sakit-sakitan tak ada yang menanggung biaya hidupnya," ujar Susanto.
Ketiga, lanjut Susanto, anak jalanan yang karena ikut-ikutan dan terpengaruh rekan sebaya atau teman. Anak dengan tipologi ini relatif mudah dikembalikan ke komunitas asalnya karena belum memutuskan pilihan permanen.
"Keempat, anak hidup di jalanan dijadikan sebagai profesi dan merasa nyaman. Tipe ini tak mudah dikembalikan kepada komunitas dan keluarga asal, karena faktor mendasar adalah mentalitas," jelasnya.
Susanto menilai, penyelesaian masalah eksploitasi anak, khususnya terhadap para pelaku pengeksploitasinya, perlu pendekatan terpadu. Tidak hanya pendekatan hukum, namun jika diperlukan juga lewat pendekatan pendidikan dan pemberdayaan.
"Jika pelaku ditangkap dan dipenjara, kemudian tidak dilakukan perubahan mental, maka dimungkinkan pelaku mengulangi perbuatannya kembali. Karena pelaku eksploitasi anak itu bukan semata-mata alasan ekonomi, namun yang lebih fundamental adalah mentalitas," ujarnya.
(Baca juga: Balada Anak Jalanan Korban Eksploitasi: Dicekoki Obat hingga Ditampar)
"Intinya, penjeraan dan pemberatan hukum penting agar orang tidak main-main mengeskploitasi anak. Namun penjeraan saja tidak cukup. Masih butuh intervensi lain agar anak tidak jadi korban eksploitasi. Prinsipnya, perlu perubahan mental yang radikal agar, pertama, anak tidak dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan ekonomi. Kedua, anak tidak dijadikan senjata untuk menumbuhkan rasa iba atau kasihan bagi masyarakat," sambung Susanto memaparkan. (hri/dra)











































