Berjalanlah ke Eropa Barat, Amerika hingga Rusia. Hampir semua orang pasti punya pengetahuan tentang produk Korea, mulai dari mobil, alat rumah tangga hingga per-gadgetan yang super modern. Merek seperti Samsung hingga KIA mulai merajai. Sedikit banyak sudah menggeser singgasana produk negeri matahari terbit.
Budaya Korea juga booming. Kpop mulai mengguncang-guncang beberapa pojokan dunia. Gangnam, sebuah daerah elit seperti Menteng di Jakarta, tiba-tiba mencuat hanya karena sebuah nyanyian disertai tarian dengan hentakan tangan sederhana, Gangnam Style. Organisasi paling akbar di dunia pun dipimpin oleh seorang warga Korea, Ban Ki-moon. Begitulah Korea yang baru bangun tidur di era 1970-an itu kini mendunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tenaga kerja Indonesia yang nyambi kuliah di Korsel (Foto: M Aji Surya/detikcom) |
Saya pun lebih terkesima dengan pernyataan seorang sejawat di saat ngafe di pinggiran jalan kota Seoul awal tahun ini yang menceritakan jasa tenaga kerja Korea yang dikirim ke luar negeri seperti halnya TKI kita. "Di awal kebangkitannya, Korea was no body. Para pekerja itulah salah satu aktor yang meletakkan fondasi bagi Korea yang modern," ujar kawan senior tersebut.
Sementara itu, sudah berapa banyak TKI yang Indonesia kirim ke berbagai pojokan dunia eh justru menuai kemirisan hati. Membuat bangsa kita terjebak dalam sebuah persepsi sebagai bangsa "pembantu". Malah, kini lebih dari 200 WNI di luar negeri terancam hukuman mati lagi. Duh!
Menurut kawan saya tersebut, Korea pernah mengirim tenaga kerjanya besar-besaran ke Jerman. Bukan untuk menjadi pembantu rumah tangga, namun sebagai pegawai terampil madya di sektor manufaktur. Membuat baut, ngelas dan kerja menengah lainnya. Tentu saja, mereka mencari uang untuk dikirim ke kampung halaman.
Sisi menariknya adalah, lanjut sang kawan, Pemerintah Korea memiliki agenda yang lebih besar dalam pengiriman tenaga kerjanya. Sebagian dari mereka dibebani misi khusus, yakni belajar, atau dengan kata lain "mencuri ilmu". Program diam-diam ini sepertinya berhasil dan sedikit demi sedikit Korea membangun industrinya yang mirip-mirip dengan Jerman. Pikiran mereka rupanya jauh menembus masa depan.
Mengapa Jerman bukan Amerika atau Rusia? Mungkin karena memang manusia Jerman sejak dulu dikenal sebagai pribadi yang tangguh yang mengedepankan kualitas produk. Hanya kompromi dengan tepat waktu dan presisi. Tidak peduli hasil akhirnya berupa produk dengan harga mahal.
Saya pun kemudian mereka-reka, merajut benang sejarah masa lalu, dengan produk Korea saat ini. Ternyata benang merah itu ada. Lihat saja semangat Korea yang selalu ingin mengedepankan tepat waktu dan presisi yang diejawantahkan dalam bentuk gajet hingga mobil. Hape Korea kini sudah menggulung nama-nama besar dari Eropa dan Jepang. Bahkan selalu face-to-face dengan produk adidaya Amerika. Mobil Korea bersliweran di berbagai pojokan dunia. Kosmetiknya dipakai di mana-mana.
Salah satu logo produk terkenal Korea (Foto: M Aji Surya/detikcom) |
Berkiblat dengan Jerman rupanya tidak salah, persis sebagaimana yang dilakukan Habibie dan sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan pengkiblatan ini sepertinya masih berlaku sampai sekarang di Korea. Lihat saja di jalanan di negeri ginseng, 90 persen mobil buatan asing adalah bikinan Jerman: Mercedes, BMW, Audi dan VW.
Saya kemudian melakukan refleksi diri. Pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) pembantu rumah tangga ke berbagai negara, walaupun dilakukan seabad lamanya dipastikan tidak bisa "mencuri ilmu". Tidak akan bisa melakukan transfer of technology. Semata-mata hanya mengeruk uang "koin".
Namun yang harus menjadi konsen Pemerintah adalah TKI yang dikirim ke Korea, khususnya di bidang manufaktur. Mereka melakukan pekerjaan yang lumayan berteknologi sehingga kaya pengalaman. Bila mantan TKI Korea digabung dengan mantan trainee dari Jepang, bukankah itu sebuah perkumpulan masyarakat yang bisa membuat pembangunan bergulir lebih cepat? Aha! (try/try)












































Tenaga kerja Indonesia yang nyambi kuliah di Korsel (Foto: M Aji Surya/detikcom)
Salah satu logo produk terkenal Korea (Foto: M Aji Surya/detikcom)