Akhir Jejak Fikri Si Pencincang Tubuh Kekasih Jadi Belasan Potongan

Akhir Jejak Fikri Si Pencincang Tubuh Kekasih Jadi Belasan Potongan

Andi Saputra - detikNews
Minggu, 13 Mar 2016 13:16 WIB
Ilustrasi (dok.detikcom)
Jakarta - Sopir Pengadilan Agama (PA) Semarapura, Bali, Fikri mencincang badan kekasihnya Diana, menjadi belasan potongan. Tuntutan hukuman mati ditampik pengadilan dan hanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Fikri menghabisi Diana di kos-kosan di Jalan Kenyeri 9, Desa Tojan, Klungkung, Bali, pada 16 Juni 2014. Fikri nekat menghabisi nyawa kekasihnya karena Diana mengancam akan melaporkan perselingkuhan itu ke istri Fikri.

Usai mencekik Diana hingga tewas, Fikri menyeret tubuh Diana ke kamar mandi dan di situlah Fikri memutilasi tubuh Diana dengan samurai. Pertama-tama Fikri menggorok leher kekasihnya sehingga kepala dan tubuh benar benar terputus. Guna menghilangkan jejak, bagian-bagian kepala Diana dipotong-potong dan dikuliti. Fikri berharap tidak ada lagi yang mengenali muka Diana. Selanjutnya badan Diana yang dipotong-potong menjadi beberapa bagian kecil.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk menghilangkan banu anyir, Fikri mencuci tubuh Diana dengan pembersih di bak mandi. Butuh waktu seharian baginya menyelesaikan kegiatan itu. Setelah lewat magrib, Fikri menyelesaikan proses mutilasi itu dengan memasukkan potongan tubuh Diana ke dalam tas kresek lalu memasukkan lagi ke dalam 13 karung.

Menjelang tengah malam, potongan tubuh itu disebar di 12 tempat di Klungkung. Keesokan harinya, warga Bali digemparkan dengan penemuan potongan-potongan tubuh itu. Polisi langsung bergerak dan membekuk Fikri beberapa hari setelahnya. Fikri lalu dihadirkan ke Pengadilan Negeri (PN) Semarapura.

Pada 21 Januari 2015, PN Semarapura menjatuhkan hukuman pidana seumur hidup kepada Fikri. Duduk sebagai ketua majelis I Gusti Partha Bargawa dengan hakim anggota Ni Luh Putu Partiwi dan Mayasari Oktavia.

Atas hukuman itu, jaksa lalu mengajukan banding. Tapi PT Denpasar menguatkan putusan PN Semarapura pada 3 Maret 2015. Duduk sebagai ketua majelis AA Ngurah Adyatmaka dengan anggota Winaryo dan Tjokoarda Rai Suamba.

Atas vonis ini, jaksa lalu mengajukan kasasi. Jaksa menilai hukuman penjara seumur hidup sangatlah tidak adil.

"Dalam kasus yang sama yaitu perkara mutilasi Hery Santoso oleh Very Idham Heryansyah alias Ryan dihukum mati. Hukuman penjara seumur hidup yang dijatuhkan PN Semarapura kami rasakan belum sepadan dengan perbuatan terdakwa yang telah menghilangkan nyawa orang lain secara sadir," kata jaksa dalam memori kasasi yang tertuang di putusan kasasi sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Minggu (13/3/2016).

Untuk meyakinkan hakim agung bahwa perbuatan tersebut sangat keji dan kejam, jaksa melampirkan foto-foto korban. Menurut jaksa, perbedaan hukuman dalam kasus yang sama akan menimbulkan disparitas dalam penegakan hukum.

"Berdasarkan fakta terungkap bahwa terdakwa (Fikri) membawa korban dari Sumbawa ke Klungkung tanpa izin orang tua. Selama di Klungkung, korban sering tidak makan dan sering meminta makan kepada tetangga kos. Untuk memenuhi hidupnya, korban meminta uang ke orang tuanya," papar jaksa.

Alasan lain jaksa menuntut mati Fikri yaitu ia kerap berbohong. Usai membunuh masih bertemu dengan istri dan anaknya dengan tenang dan terus mengelak jika dirinya adalah pelaku pembunuhan kejam itu. 

"Rasa keadilan masyarakat menuntut agar setiap pelaku dijatuhi hukuman maksimal yang berat karena perbuatan terdakwa dilakuakn sangat sadis, tidak menghormati hak hidup orang lain sehingge menimbulkan ketakuktan masyarakat, yang dalam perkara sama putusan Very Idham Heryansyah diputus hukuman mati," beber jaksa meminta MA menjatuhkan hukuman mati ke Fikri. 

Tapi apa daya, seluruh permohonan jaksa itu ditampik Mahkamah Agung (MA).

"Menolak permohonan kasasi jaksa," putus majelis kasasi dengan ketua majelis Sofyan Sitompul dengan anggota Margono dan Eddy Army.

Menurut majelis hakim, hukuman penjara seumur hidup yang dijatuhkan telah tepat dan benar.

"Putusan judex factie untuk keseluruhannya sudah merupakan putusan yang tidak salah yang mempertimbangkan secaratepat dan benar fakta hukum yang relevan," ujar majelis dalam vonis yang diketok pada 24 Juni 2015. (asp/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads