Berani Nuntut Mati Gembong Narkoba, Jaksa Juga Harus Berani Mengeksekusinya

Indonesia Darurat Narkoba

Berani Nuntut Mati Gembong Narkoba, Jaksa Juga Harus Berani Mengeksekusinya

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 25 Feb 2016 15:22 WIB
Praseyo-Freddy Budiman-Budi Waseso (dok.detikcom)
Jakarta - Belasan tuntutan mati diajukan jaksa dan dikabulkan majelis hakim. Dengan dikabulkannya permintaan tersebut oleh hakim, jaksa diharap juga berani mengeksekusinya.

Sebab, kejaksaan yang mempunyai fungsi penuntutan dan juga mempunyai fungsi pelaksanaan putusan hakim. 

"Jika selama ini Kejaksaan RI dalam kasus narkoba besar telah berani secara tegas menuntut dengan hukuman maksimal yaitu hukuman mati, maka seharusnya kejaksaan juga harus menerapkan standar yang sama yaitu menyegerakan melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam hal ini putusan hukuman mati," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Kamis (25/2/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Apalagi Presiden Joko Widodo telah memerintahkan kepada bawahannya untuk melakukan pertempuran melawan narkoba. Sehingga selain aspek pencegahan dan penindakan, hal terpenting yang harus juga segara dilakukan adalah melakukan eksekusi kepada terpidana kejahatan narkoba yang vonisnya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, khususnya vonis hukuman mati.

"Sikap tegas pengadilan Indonesia yang secara independen, di tengah berbagai tekanan dari dalam maupun luar negeri, telah berani memberikan hukuman tegas kepada para pelaku kejahatan narkoba utamanya mereka yang berstatus bandar besar tentu membutuhkan dukungan untuk dapat dilaksanakan eksekusi," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.

Kejaksaan tidak perlu ragu dalam melaksanakan eksekusi hukuman mati. Mengingat hukuman mati telah mendapat landasan konstitusional dalam UUD 1945 maupun berbagai UU yang berlaku. Selain itu saat ini narkoba telah terbukti masih menjadi mesin perusak yang luar biasa bagi generasi manusia Indonesia sehingga harus diberikan efek jera dan efek gentar bagi para bandar narkoba. Menurut Bayu, alasan Jaksa Agung Prasetyo menunda eksekusi mati karena alasan ekonomi dinilai tak tepat.

"Karena itu dapat menurunkan wibawa negara hukum, mengingat sesuai asas penyelenggaraan peradilan termasuk pelaksanaan putusan, maka  peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan," ujarnya.

"Tindakan tidak menyegerakan pelaksanaan hukuman mati ini juga bentuk pengingkaran atas ketentuan Pasal 54 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa," beber Bayu.

Sebagaimana diketahui, Prasetyo saat ditemui usai rapat dengan Presiden Jokowi (25/2) kemarin, berdalih saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengeksekusi mereka.

"Kita lihat nanti. Sekarang kan masih banyak hal lain yang diprioritaskan, misalnya ekonomi," kata Prasetyo.

Padahal banyak gembong narkoba skala internasional yang berhasil dibekuk dan dihukum mati tetapi mengulangi perbuatannya lagi di penjara karena tidak kunjung dieksekusi mati. Salah satunya adalah komplotan pembangun pabrik narkoba terbesar ketiga di Asia yang berada di Tangerang yang digerebek pada 11 November 2005. Dari tangan mereka aparat menyita berton-ton bahan pembuat ekstasi, 148 kilogram sabu, dan sejumlah mesin pembuat ekstasi. Presiden SBY kala itu langsung meninjau ke lokasi.

Komplotan 'Tangerang Nine' ini lalu diadili dan sembilan orang dijatuhi hukuman mati. Sembilan orang dijatuhi hukuman mati, yaitu:

1. Benny Sudrajat alias Tandi Winardi
2. Iming Santoso alias Budhi Cipto
3. WN China Zhang Manquan
4. WN China Chen Hongxin
5. WN China Jian Yuxin
6. WN China Gan Chunyi
7. WN China Zhu Xuxiong
8. Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick
9. WN Prancis Serge Areski Atlaoui.

Benny yang juga Ketua 'Tangerang Nine' tidak kapok meski dihukum mati. Ia di LP Pasir Putih, Nusakambangan, tetap leluasa mengendalikan pembangunan pabrik narkoba di Pamulang, Cianjur dan Tamansari. Ia memanfaatkan dua anaknya yang masih bebas. Benny lalu diadili lagi oleh pengadilan dan karena sudah dihukum mati maka ia divonis nihil.

Adapun Serge, sempat masuk daftar tereksekusi mati 2015 tetapi tiba-tiba dibatalkan dieksekusi mati oleh Jaksa Agung HM Prasetyo.

Demikian juga dengan Freddy Budiman. Ia menghuni penjara di LP Cipinang guna menjalani masa hukuman 10 tahun penjara. Tetapi ia malah mengendalikan bisnis haramnya dan baru terendus saat mengimpor 1,4 juta ekstasi. Setelah itu juga terungkap ia membangun pabrik narkoba di selnya. Kini Freddy menikmati hari-harinya di LP Gunung Sindur, meski statusnya adalah terpidana mati. (asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads