"Yang pertama, daerah itu harus kita lakukan konservasi. (Ikannya) Tidak boleh ditangkap sama sekali," tutur Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Prof Hari Eko Irianto, saat diwawancara detikcom, Selasa (5/1/2016). Institusi yang dipimpin Prof Hari terlibat riset ikan pari manta.
(Baca juga: Terkuak! Raja Ampat 'Pembibitan Alami' Pari Manta di ASEAN, Mari Dijaga)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Kedua, ecotourism akan menarik sekali. Bisa kita jadikan Sangalaki (Berau-Kalimantan Timur), Nusa Penida (Bali), Komodo (NTT), Raja Ampat (Papua), sebagai lokasi diving melihat pari manta. Tren tourism sangat menarik, pari manta termasuk yang jinak, tak membahayakan, yang besar bisa sampai 9 meter, makanya sangat menarik sekali untuk yang suka renang," jelas Hari.
Tim riset juga berusaha mengedukasi komunitas yang tinggal di sekitar 4 kawasan itu. Masyarakat bisa berdaya untuk menjaga lingkungannya agar tak menangkap pari manta.
![]() |
"Warga di sana sih sudah nggak berani menangkap. Ikan ini sudah benar-benar dilarang untuk ditangkap," tegas dia.
"Kita berharap hasil penelitian ini kembali ke pemerintah untuk menarik turis ke tempat-tempat itu. Ini sangat prospektif, daerah diving sudah bisa membantu meningkatkan kunjungan wisatawan asing dan lokal," tutur Hari.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menetapkan perairan Indonesia seluas 5,8 juta kilometer.
Penetapan perairan Indonesia seluas 5,8 juta kilometer persegi untuk menjadi kawasan suaka pari manta sejak Januari 2014. Penetapan itu melarang penangkapan dan ekspor pari manta.
Menurut data KKP, Indonesia adalah penyedia wisata pari manta terbesar kedua di dunia. Penerimaan tahunan dari industri ini mencapai US$ 15 juta (Rp 207 miliar) per tahun. Kajian LIPI dan sejumlah organisasi internasional menyebutkan dalam keadaan hidup satu ekor pari manta bisa menyumbang penerimaan hingga US$ 1 juta (Rp 13 miliar) untuk menarik wisatawan. Bandingkan bila ikan tersebut diburu dan diambil bagian-bagian tubuhnya yang membuat nilainya 'turun' menjadi US$ 40 - 500 (Rp 557 ribu - Rp 6,9 juta) per ekor.
Halaman 2 dari 1