Dalam kasus ini, majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan dengan anggota Aliwarti dan Kartijono telah meninjau lokasi langsung dan meyakini tuntutan KLHK lemah.
"Bahwa menurut tergugat, hasil pengecekan pengguat di lokasi, kebakaran hanya berbentuk arang, bukan titik api. Titik arang hanya bisa membuktikan bahwa lokasi tersebut bekas terbakar, tanpa bisa menunjukan kapan kebakaran tersebut terjadi. Apalagi bisa menentukan siapa pelakunya, termasuk motif maupun modus pembakaran," demikian putus majelis hakim sebagaimana dikutip dari salinan lengkap putusan tersebut yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Selasa (5/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Berbuat atau tidak berbuat
2. Menimbulkan kerugian
3. Adanya kesalahan
4. Adanya hubungan sebab-akibat/kausal.
Atas dasar pasal tersebut, majelis hakim menilai KLHK tidak bisa membuktikan adanya hubungan sebab-akibat antara kebakaran dan tanggung jawab PT BMH. Sebab, pada September-Oktober 2014, jumlah hujan dan hari hujan sangat rendah yang menyebabkan daerah tersebut menjadi kering.
Hal ini berdampak pada meningkatnya potensi kebakaran, penyebaran api cepat meluas karena dinamika angin, persebaran udara bercampur udara yang belum panas/turbulensi. Sehingga sulit diprediksi dan tidak dapat dikendalikan, termasuk oleh sekat bakar dan kanal.
KLHK juga mendalilkan PT BMH tidak melakukan upaya pemadaman sehingga kebakaran tidak bisa dipadamkan. Namun berdasarkan bukti yang dihadirkan, PT BMH memiliki satu unit menara api, 2 unit mesin pompa shibura, 1 unit selang, kanal dengan lebar 6 meter per 500 meter dan 6 unit mesin ringan ministriker.
Selain itu, PT BMH juga memiliki alat pemadam kebakaran, alat pengukur angin, 4 unit mobil, 2 speedboat, menara pengawas, eksavator, dengan tenaga 10 orang di Simbang Tiga dan 80 orang di Sungai Biyuku.
"Menurut Ahmad Taufik dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel, kuantitas sarana pemadam kebakaran PT BMH sudah cukup yaitu regu kebakaran 244 orang, 4 menara api, sejumlah pemukul api dan 6 unit pompa air," ujar majelis mengutip keterangan saksi.
Alhasil, majelis hakim menilai tidak ada hubungan kausalitas antara terjadinya kebakaran tersebut dengan tanggung jawab yang harus ditanggungnya. "Hubungan kausul antara kesalahan dan kerugian, tidak terpenuhi yang merupakan salah satu syarat atau unsur Pasal 1365 KUHPerdata," ucap majelis sambil mengutip keterangan ahli Adtja Sondjaja. Ahli ini merupakan mantan hakim agung.
Dalam putusannya tersebut, majelis hakim meyakini dan membenarkan ada kebakaran di lahan di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Biyuku, sebagai salah satu wilayah konsensi PT Bumi Mekar Hijau. Namun, KLHK tidak bisa membuktikan bahwa PT BMH sebagai penyebab kebakaran tersebut karena sampel yang diambil tidak cukup mewakili 20 ribu hektare. KLHK hanya mengambil sampel di tiga titik.
Alasan KLHK menggunakan pasal KUHPerdata memang sebelumnya dianggap aneh. Pasal ini terlalu luas dan pembuktiannya susah. Sebagian ahli mempertanyakan mengapa KLHK tidak mendakwa PT BMH dengan pasal pidana atau kejahatan korporasi. Padahal, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur mekanisme tersebut. (asp/fdn)











































