Mengapa Ramalan Joyoboyo Populer dan Dipercaya Hingga Kini?

Membedah Ramalan Joyoboyo

Mengapa Ramalan Joyoboyo Populer dan Dipercaya Hingga Kini?

Erwin Dariyanto - detikNews
Kamis, 31 Des 2015 14:25 WIB
Foto: Fuad H/detikcom
Jakarta - Sri Aji Joyoboyo hidup pada sekitar abad XI. Dia menjadi raja di kerajaan Kediri pada 1130 hingga 1157. Sejumlah petuahnya kemudian dibuat tulisan oleh pujangga dari Keraton Surakarta Ronggowarsito yang lahir tahun 1802 dan meninggal 1873.

Sekitar 859 tahun setelah Joyoboyo mangkat dan 143 tahun pasca ditulis Ronggowarsito, petuah yang kemudian dikenal dengan nama Jongko Joyoboyo itu masih populer di kalangan masyarakat Indonesia. Tak sedikit yang mempercayai bahwa ramalan Joyoboyo itu tepat adanya.

Baca juga: Mengenal Joyoboyo yang Terkenal dengan Ramalan Saktinya

Kepopuleran ramalan Joyoboyo hingga saat ini tak lepas dari peran pujangga dan para budayawan. Bagi penggemar wayang kulit tentu tak asing dengan sejumlah ramalan Joyoboyo seperti "Amenangi zaman edan, nak ora melu edan ora keduman (Memasuki zaman gila, kalau tak ikut-ikutan gila tak akan kebagian)."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Para dalang wayang kulit di Solo misalnya sering mengutipnya saat sesi goro-goro, yakni adegan tokoh Punokawan: Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.

"Amenangi zaman edan, nak ora melu edan ora keduman (Memasuki zaman gila, kalau tak ikut-ikutan gila tak akan kebagian)
Akeh wong mati jalaran saka peperangan (Banyak orang mati karena perang)
Wong bener saya thenger-thenger (Si benar makin tertegun)
Wong salah saya bungah-bungah (Si salah makin sorak sorai)
Akeh bandha musna ora karuan lungane (Banyak harta hilang entah ke mana)
Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe (Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa)
Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram (Banyak barang haram, banyak anak haram)
Angkara murka saya ndadi (Angkara murka semakin menjadi)
Akeh buruh nantang juragan (Banyak buruh melawan majikan)
Juragan dadi umpan (Majikan menjadi umpan)
Wong pinter diingar-ingar (Si pandai direcoki)
Wong ala diuja (Si jahat dimanjakan)
Nanging eling sakbeja-bejane wong lali isih bejo wong eling lawan waspodho ( Tapi ingat keberuntungan orang yang lupa (gila), masih akan beruntung orang yang selalu ingat dan waspada)."

Begitu kalimat ki dalang saat pagelaran wayang kulit memasuki sesi goro-goro.

Sejarawan dan pemerhati budaya dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Heri Priyatmoko mengatakan, melalui media wayang kulit dan ketoprak itulah ramalam Joyoboyo menjadi dikenal oleh masyarakat. Sejumlah ramalan itu kemudian dihubung-hubungkan dengan peristiwa yang saat ini terjadi. "Cerita Joyoboyo dicocok-cocokkan dan ternyata masyarakat percaya," kata Heri saat berbincang dengan detikcom.

Sejumlah politisi dan bahkan tokoh bangsa Soekarno pun pernah mengutip ramalan Joyoboyo. Bung Karno mengutip ramalan itu saat menyampaikan pidato pembelaan (pledoi) 'Indonesia Menggugat' di depan Pengadilan Belanda di Bandung pada 2 Desember 1930.

"Silakan pertimbangkan tuan hakim, kenapa orang orang hindia belanda(Indonesia) masih menunggu ratu adil? Kenapa hingga saat ini Jayabaya membangkitkan harapan rakyat? Tidak ada alasan lain selain karena rakyat menangis menunggu dengan yakin demi keselamatan mereka. Seperti seseorang hidup di kegelapan yang tak pernah menyerah untuk menunggu dan berharap, setiap jam, setiap menit, setiap detik " kapan matahari akan terbit?" kata Bung Karno kala itu.

Baca juga: Kisah Bung Karno Mengutip Ramalan Joyoboyo di Pledoi Indonesia Menggugat

Melalui pendekatan budaya dan oleh para politikus itulah ramalan Joyoboyo populer hingga sekarang. (erd/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads