"Itu kan adalah post factum. Sesuatu yang sudah terjadi. Karena (ramalan) adalah model penulisan sejarah Jawa," ujar Margana.
Hal ini disampaikan Margana kepada detikcom di kantornya, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jalan Sosio-Humaniora, Bulaksumur, Yogyakarta, Selasa (29/12/2015) kemarin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, penulisan sejarah pada saat itu juga termasuk genre sastra. Sehingga ada beberapa tokoh dalam ramalan-ramalan yang tak nyata alias imajiner. Sesuai keinginan si penulis.
"Itu catatan," imbuhnya.
Konon, ramalan Joyoboyo ditulis oleh Ronggowarsito, seorang pujangga dari Surakarta. Namun, yang ada saat ini hanya naskah-naskah salinannya.
"Dulu nggak ada mesin fotocopy. Kalau mau menyalin ya ditulis ulang. Nah yang menyalin biasanya menambahi, mengubah, interpolasi. Jadi memang kelihatan pas, Wong sudah terjadi kok," ulasnya.
Gaya ramalan bisa dipakai untuk berbagai kepentingan penulis atau penguasa yang sedang bertahta saat itu. Misalnya legitimasi penguasa hingga kritik terhadap realitas sosial.
"Ada disertasi dari Nancy K Florida, dari Universitas Michigan History is Prophecy yang mengkaji gaya tulisan orang Jawa menuliskan sejarah sebagai ramalan," tuturnya.
Misalnya, Margana, memberi contoh ada seorang raja yang berasal bukan dari rahim permaisuri. Sang raja kemudian memerintahkan abdinya untuk menuliskan bahwa dirinya memang sudah diramalkan sejak zaman nenek moyang akan naik menjadi raja.
Margana memberi contoh, jika gaya penulisan ini juga bisa digunakan menggambarkan peristiwa saat ini.
"Misalnya dalam tulisan saya meramalkan nanti Jokowi akan menjadi Presiden. Nanti akan ada presiden yang orangnya berasal dari pinggir kali. Judulnya saya beri ramalan Joyoboyo dan penulisannya sekarang," urai Margana. (sip/erd)











































