"Ini penting bagi penegak hukum, penyidik Polri dan Kejaksaan harus dituntut profesional," ucap Menkum HAM Yasonna Laoli, di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta, Selasa (24/11/2015), malam.

Menurut Yasonna, profesionalitas para penyidik dalam mengungkap suatu kasus adalah kewajiban. Dengan kata lain, aturan ganti rugi korban salah tangkap diubah besarannya agar para penyidik menanggung beban tanggung jawab yang besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kesalahan itu bisa terjadi di tingkat polisi, jaksa bahkan oleh hakim sendiri. Jika kesalahan sampai tingkat hakim, maka sempurnalah peradilan sesat. Aturan yang akan segera disahkan Desember 2015 ini memuat besaran baru dalam nilai ganti rugi korban rekayasa hukum. Berikut rincian:
1. Korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat diganti Rp 500 ribu hingga Rp 100 juta. (Sebelumnya Rp 5 ribu-Rp 1 juta)
2. Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat luka/cacat maka diganti Rp 25 juta-Rp 100 juta. (Sebelumnya Rp 5 ribu-Rp 3 juta)
3. Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat meninggal dunia, maka diganti Rp 50 juta-Rp 600 juta. (Sebelumnya Rp 5 ribu-Rp 3 juta)
Selain, revisi juga menyepakati beberapa hal penting yaitu:
1. Permohonan gugatan:Diajukan maksimal 3 bulan sejak petikan atau salinan berkekuatan hukum tetap diterima.
2. Eksekusi: Maksimal 14 hari uang ganti rugi harus cair sejak pengadilan pengaju mengajukan ke Kemenkeu.
Dalam catatan detikcom, ketidakprofesionalan aparat jamak terjadi. Seperti yang dialami dua pengamen di Cipulir yang menjadi korban salah tangkap, Andro Supriyanto dan Benges. Keduanya dituduh membunuh seseorang bernama Dicky pada tahun 1 Oktober 2013 silam. Tudingan itu isapan jempol belaka.
Di Sumatera Utara (Sumut), Devi Syahputra (25) dipenjara selama 3 tahun tanpa dosa terkait tuduhan kepemilikan narkoba. Ia dijebak aparat aparat untuk mau mengakui kepemilikan sabu dalam sebuah razia pada 24 Februari 2011 malam. Devi divonis bebas oleh pengadilan dan dikeluarkan dari jeruji besi.
Selain itu, tokang ojek Hasan Basri juga mengalami hal serupa. Polisi menangkap Hasan pada 9 November 2011 di pangkalan ojek Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Tanpa ba bi bu, sekitar pukul 20.00 WIB, Hasan dibawa sejumlah polisi ke Polsek Menteng dengan tuduhan terlibat perampokan. Hasan tetap menyangkal tetapi polisi berkeyakinan lain sehingga Hasan tetap ditahan. Hasan harus mendekam di tahanan Polsek Menteng dan Rutan Salemba.
Setelah bertarung di meja hijau, akhirnya Hasan bisa tersenyum karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena memvonis dirinya tidak bersalah dan tidak terbukti terlibat dalam perampokan. Vonis itu juga dikuatkan di tingkat kasasi.
Di Semarang, seorang kasir karaoke Sri Mulyati juga mengalami hal serupa. Ia dituduh mempekerjakan anak di bawah umur pada 8 Juni 2011. Akhirnya Sri bisa menghirup udara segar pada 24 Juli 2012. Mahkamah Agung (MA) membebaskan Sri di tingkat kasasi setelah menghuni penjara selama 13 bulan lamanya.
Sri meminta ganti rugi dan hanya dikabulkan Rp 5 juta. Namun, hingga hari ini gemerincing uang tak kunjung terdengar dari kantongnya.
Di Jakarta, Krisbayudi dituduh terlibat pembunuhan. Namun tudingan itu tak berdasar hingga akhirnya dibebaskan oleh PN Jakut setelah menghuni penjara berbulan-bulan. PN Jakut hanya memberikan ganti rugi kepada Kris sebesar Rp 1 juta untuk penderitaan penahanan selama berbulan-bulan lamanya.
Di pelosok Kalimantan Barat (Kalbar), satpam Bank BRI Unit Cabang Sukadana, Kabupaten Kayong Utara (KKU) Iswahyudi diseret oleh rekannya, Agus terlibat kasus pembobolan brankas berisi uang Rp 1,4 miliar pada 7 Agustus 2011. Iswahyudi lalu ditahan selama 98 hari hingga Pengadilan Negeri (PN) Ketapang mengalihkan penahanannya menjadi tahanan kota.
Lara Iswahyudi sedikit terhibur saat PN Ketapang membebaskan dirinya dari segala dakwaan. Iswahyudi tidak terlibat pembobolan dan kejahatan itu hanya dilakukan oleh Agus beserta 3 temannya. Putusan ini dikuatkan oleh MA pada 9 April 2013.
Seorang pemulung di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat (Jakpus) Chairul juga mengalami kezaliman hukum. Aparat menuduh dia memiliki dua linting ganja saat digerebek di tepi rel kereta api di dekat rumah bedengnya pada 3 September 2009. Kebebasannya langsung terenggut dan ia harus menghuni bui sejak saat itu. Tapi Pada 3 Mei 2010, Chairul Saleh divonis bebas karena tidak terbukti memiliki ganja dan ia segera berkemas meninggalkan penjara pada malam harinya.











































