Acara yang bertajuk Gladen Hageng Paguyuban Jemparingan Jawa Gagrak Mataraman Dewondanu itu digelar di Lapangan Balaikota Yogyakarta di Jl Kenari, Timoho, Minggu (4/10/2015). Ratusan pemanah dari berbagai paguyuban di Yogyakarta, Klaten, Solo, Ungaran, Wonosobo dan beberapa daerah di Jawa Timur turut berpartisipasi.
Acara itu digelar bersamaan dengan rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Yogyakarta ke 259. Hadiah dan piala dari Walikota Yogyakarta diberikan untuk setiap kategori, putra-putri (dewasa) dan putra-putri (anak-anak) serta banyak hadiah hiburan bagi yang mengenai sasaran setiap ronde/rambahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti membuka acara tersebut dengan memanah sebuah balon dengan jarak lebih dari 5 meter. Anak panah pertama yang dilepaskan Haryadi mengenai bagian bawah papan bidik. Lontaran anak panah kedua langsung mengenai sebuah balon. Ketika balon tersebut pecah, rangkaian balon yang di atas langsung terbang sebagai pertanda dibuka lomba tersebut. Haryadi pun senang ketika anak panah kedua mengenai sasaran. Para peserta langsung bertepuk tangan.
Haryadi mengungkapkan kegiatan ini diharapkan tidak hanya melestarikan warisan budaya saja namun juga masyarakat Yogyakarta mulai menggemari olahraga panahan tradisional. Pemkot Yogyakarta juga memfasilitasi tempat bila masyarakat umum ada yang ingin berlatih.
"Kami berpesan agar faktor keamanan atau safety ditingkatkan ketika masyarakat biasa ingin berlatih. Mereka bisa latihan dengan anak panah yang tumpul lebih dulu dan kalau sudah terlatih dengan baik bisa meningkat," pesan dia.
Panahan tradisional atau dikenal dengan sebutan jemparingan gaya Mataraman ini berbeda dengan lomba atau olahraga panahan yang digelar Persatuan Panahan Indonesia (Perpani). Lomba panahan Perpani, peserta membidik dengan cara berdiri. Sedangkan dalam jemparingan, pemanah tidak berdiri namun duduk bersila atau kedua kaki dilipat.
Semua peserta jemparingan baik anak-anak dan orang dewasa, laki-laki atau perempuan harus mengenakan busana adat Jawa yakni mengenaikan kain batik, ikat kepala/blangkon, keris bagi laki-laki. Bila tidak mengenakan busana adat atau kain batik untuk bagian bawah peserta didiskualifikasi meski menjadi pemenang.
Peserta terbagi dua yakni anak-anak dan dewasa. Untuk anak-anak jarak bidik lebih kurang 20-an meter. Sedangkan orang dewasa, jarak bidik lebih kurang 25-an meter.
Uniknya sasaran bidik yang bernama bandol yang dipasang menggantung. Di belakangnya terdapat papan matras untuk pengaman anak panah yang tidak mengenai sasaran tidak melesat jauh. Sasaran bidik bandol terbagi bagian kepala (atas) dan sandang (bawah). Pemanah yang mengenai bagian atas atau kepala akan mendapatkan nilai tertinggi atau mendapat hadiah yang disebut bebungah. Saat sasaran terkena anak panah akan langsung berbunyi gemerincing karena terpasang sebuah lonceng kecil.
Dalam satu ronde atau rambahan, setiap peserta melepaskan empat anak panah. setelah empat anak panah terlepaskan, peserta kemudian mundur dan digantikan peserta lain. Saat ada pemanah yang mengenai sasaran, panitia akan memberikan tanda dengan memukul bendhe.
"Lebih susah memanah dengan cara duduk daripada berdiri," ungkap Langit salah satu peserta yang juga atlet panahan itu.
Menurut pimpinan Paguyuban Jemparingan Jawi Gaya Mataran Dewondanu, Tubagus Ali Mustofa, jemparingan Mataraman adalah seni/olahraga panahan tradisional yang masih berkembang di wilayah Mataram Yogya-Solo. Bentuk busur anak panah juga masih sederhana terbuat dari kayu dan bambu.
"Senjata panah di zaman kerajaan Mataram disebut jemparing ini adalah senjata pasukan khusus yang di sebut pasukan panyutro. Mereka berdiri di barisan terdepan prajurit yang bertugas melepaskan panah-panah tajam.
"Pertempuran jarak jauh antar pemanah ini sering menjadi pembuka sebuah peperangan," ungkap Gus Mus panggilan akrabnya.
Saat ini lanjut dia, orang menyukai olahraga ini selain menyehatkan badan juga membantu meningkatkan daya konsentrasi. Sebab olahraga ini penuh konsentrasi sehingga unsur rasa juga turur berperan.
"Manah itu arti Bahasa Jawa yaitu hati. Harus ada perasaan dan hati yang tenah saat membidik sasaran, meregangkan busur dan melepas anak panah. Itu filosofinya," pungkas Gus Mus di sela-sela penilaian lomba. (bgs/mad)












































