Saat detikcom berkunjung ke Pedepokan Among Budaya Sastro Loyo, Minggu (27/9/2015), kebetulan ada pasien baru yang diambil dari Lamongan oleh beberapa orang murid Djliteng. Pemuda berambut gondrong itu Azis namanya. Kedua tangannya diborgol saat turun dari mobil.
"Dia di rumahnya mengamuk, makanya kami borgol agar tak berontak selama perjalanan," kata Ismanto (30), salah seorang murid Djliteng.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk disodorkan Djliteng ke Azis yang hanya tertunduk. Sepatah dua kata terlihat dia bisikkan ke telinga pemuda berkulit hitam itu. Azis yang sebelumnya mengamuk, kini terlihat tenang sembari menyantap sepiring nasi didampingi Djliteng.
"Kalau kondisinya seperti ini butuh waktu beberapa hari untuk bisa tenang dan diajak komunikasi," ujar Djliteng.
Seakan sudah menjadi kebiasaan bagi pasien baru yang mudah mengamuk, murid Djliteng mengikatkan rantai ke perut Azis dengan kunci gembok. Rantai itu dikaitkan ke tiang penyangga pendapa Pedepokan Among Budaya Sastro Loyo. Rambutnya yang terlihat gondrong pun dicukur. Konon untuk menghilangkan kotoran di tubuh pasien.
(Foto: Enggran Eko Budianto/detikcom) |
Menurut Djliteng, dalam beberapa hari ke depan, Azis akan dirantai. "Tidur, makan ya di situ. Belum saatnya dilepas. Kalau dilepas akan mengamuk ke pasien lainnya," sebutnya.
Ternyata terapi yang diberikan Djliteng ke pasien baru cukup sederhana. Layaknya seorang psikiater, bapak 6 anak ini rutin mengajak ngobrol setiap pasien. Menurutnya, komunikasi menjadi kunci untuk mengembalikan ingatan pasien dan mengetahui masalah yang dialami.
"Selain itu tentu saja saya minta kepada Alloh SWT untuk kesembuhan mereka. Sehari semalam saya hanya tidur 2 jam. Karena ini manusia, saya punya keyakinan semua manusia bisa diajari layaknya manusia," ungkapnya.
Selain Azis, Djliteng saat ini merawat 20 pasien gangguan jiwa lainnya. Dari jumlah itu, 3 pasien Djliteng merupakan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Di samping mendapat bimbingan konseling dari Djliteng, puluhan pasien itu diajari disiplin menjalani rutinitas hidup sehat. Bangun pagi, mereka diarahkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu olahraga bersama dengan berjalan kaki keliling kampung Kedaton.
"Sarapan pukul 07.00 Wib, kemudian kami arahkan untuk mencuci piring dan baju sendiri. Itu untuk kemandirian mereka. Rata-rata orang gila itu malas berbuat apa-apa, justru kalau hanya didiamkan endak (tidak) bakal sembuh," tuturnya.
Sekitar pukul 09.00 Wib, puluhan pasien gangguan jiwa itu dikumpulkan di pendopo rumah Djliteng. Anehnya, seperti anak kecil, pengidap gangguan jiwa itu nurut dengan setiap perintah Djliteng dan murid-muridnya. Mereka pun duduk santai sembari menonton televisi.
"Makan siang pukul 11.00 Wib, setelah itu tidur siang sampai pukul 16.00 Wib. Lanjut mandi dan kembali kumpul di pendopo. Makan malam pukul 17.30 Wib, begitu seterusnya," imbuhnya.
Djliteng menegaskan, dia tak pernah memakai obat-obatan untuk membantu terapi pasiennya. Dengan cara sederhana itu, anak ke 4 dari 6 bersaudara pasangan almarhum Marsubudi dan RA Endang Seleseh ini mengaku telah menyembuhkan ratusan orang gila sejak tahun 1992.
Waktu sembuh pasien pun variatif tergantung kondisi kejiwaan mereka. Ada yang hanya butuh waktu seminggu, ada pula yang butuh waktu hingga 2 tahun.
"Kalau pasien sudah bisa bergaul dengan masyarakat, tahu mana yang benar dan tidak, punya tata krama, sudah bisa merawat diri sendiri baru saya izinkan pulang," jelasnya.
Djliteng merawat penderita gangguan dibantu 16 muridnya. Saat ini, ada 20 pasien yang ditempatkan di 9 kamar. Mereka berasal dari Sidoarjo, Jombang, Lamongan, Gresik, Cepu (Blora), Madiun, dan Jepara. Usia pasien variatif, dari belasan hingga 30-an tahun. Keluarga pasien menjenguk 10 hari atau 2 minggu sekali. (ugik/try)












































(Foto: Enggran Eko Budianto/detikcom)