"Sangat disayangkan di era reformasi ini ternyata DPR masih belum bisa lepas dari konservatisme legislasi yaitu sekedar melestarikan kebiasaan pembentukan UU yang sudah ada yang terbukti tidak efisien, kondisi ini ditandai dengan ciri target pembentukan UU tinggi namun kebanyakan gagal terselesaikan karena proses pembentukannya berlarut-larut dan tidak efisien," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Selasa (1/9/2015).
Menurut Bayu, kunjungan DPR kali ini merupakan sebuah langkah pemborosan anggaran negara dalam merumuskan RUU KUHP. DPR harusnya mencontoh Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggelar teleconference saat mendengar keterangan ahli dari berbagi negara seperti Prof Philip Alston dari New York University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Fagan dari Columbia University, Amerika Serikat, dan Prof William A Schabas dari Leiiden University, Belanda.Β
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sembilan orang yang bertolak ke Inggris pada akhir Agustus 2015 itu adalah Β Aziz Syamsuddin (Partai Golkar), John Kennedy Aziz (Partai Golkar), Dwi Ria Latifa (PDIP), Iwan Kurniawan (Gerindra), Didik Mukriyanto (PD), Daeng Muhammad (PAN), Nassir Djamil (PKS), Bahrudin Nasori (PKB) dan Arsul Sani (PPP). Mereka mengaku mempelajari hukum adat yang berkembang di Inggris. Padahal, Bapak Hukum Adat, Cornelis van Vollenhoven berasal dari Belanda yang belajar hukum adat dari Indonesia.
Inggris dinilai tidak tepat karena hukum adat Indonesia lebih beragam. Selain itu, RUU KUHP juga bernuansa budaya ketimuran seperti anti kumpul kebo, kriminalisasi santet hingga larangan seks liar bagi suami istri. Sedangkan Inggris membolehkan kumpul kebo.
Tapi apa kata DPR?
"Komisi III ingin perspektif hukum pidana yang lebih luas, tidak hanya Belanda atau Eropa kontinental tapi juga perkembangan di sistem Anglo-Saxon," ujar Arsul Sani. (asp/rjo)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini