Pakar hukum Tata Negara Refly Harun melihat Jokowi menempatkan Luhut di ring satunya sebagai penyeimbang. Saat kursi menteri sudah habis, Jokowi membuat posisi khusus untuk Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
"Jokowi membutuhkan Luhut sebagai penyeimbang. Kan dulu Menko Polhukam untuk Luhut tapi kemudian Mega tidak menyukai kemudian muncul nama Tedjo Edhie. Lalu dalam perjalanan berikutnya Luhut tidak punya jabatan maka diberikan posisi kepala staf kepresidenan yang kewenangannya luar biasa," kata Refly dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (28/8/2015).
Pada akhirnya Jokowi melantik Luhut Pandjaitan menjadi Menko Polhukam dalam reshuffle terbatas beberapa waktu lalu. Kini muncul pertanyaan besar tentang siapa pengganti Luhut di posisi strategis itu. Rupanya untuk sementara waktu Presiden Jokowi memercayakan Luhut merangkap jabatan tersebut sampai ditemukan sosok yang cocok menjadi pengganti si jenderal singa.
Sempat muncul gagasan fungsi kepala staf kepresidenan bakal dilebur. Mana yang lebih baik untuk Presiden Jokowi?
"Sekarang lembaga itu sudah ada dan sudah berjalan tapi tidak bisa dibubarkan juga, tapi mungkin gradasinya bisa diperkecil. Jadi betul-betul jadi think tank presiden saja. Jadi jangan sampai overlapping lagi," kata Refly.
"Toh sekarang setelah jadi Menko Polhukam, Luhut bisa diminta ngapain saja. Sehingga kepala staf kepresidenan betul-betul jadi think tank, supporting system," kata Refly.
Namun posisinya harus diperjelas agar tak bertabrakan dengan peran Sekretaris Kabinet. "Mungkin yang lebih substansi, bukan prosedur. Jadi di bidang substansi kebijakan, ranahnya administrasi birokrasi," kata Reflu.
Lalu siapa yang menurut Refly bakal menggantikan Luhut? "Tidak perlu orang yang norak, cukup yang bekerja diam di balik layar. Sebaiknya yang akan diambil ya orang yang barangkali orang yang bekerja diam, think tank, jadi betul-betul menjadi mesin kebijakan presiden lalu memberikan second opinion kepada presiden," pungkasnya. (van/nrl)