Berkah Gus Dur dan Rebutan Makanan Saat 17 Agustusan di Istana

Menyapa Bapak dan Ibu Bangsa

Berkah Gus Dur dan Rebutan Makanan Saat 17 Agustusan di Istana

Salmah Muslimah - detikNews
Rabu, 19 Agu 2015 13:59 WIB
Foto: Istimewa/Getty Images
Jakarta - Perayaan 17 Agustus di Istana selalu memiliki ciri khas tersendiri, tergantung siapa presidennya saat itu. Di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) perayaan 17 Agustus begitu merakyat.

Putri bungsu Gus Dur, Inayah Wulandari, mengisahkan keseruan perayaan 17 Agustus kala itu. Menurutnya perayaan itu sesuatu berkah dan seru.

"Kalau 17an itu di Istana seru banget. Buat saya itu magical karena bendera yang dipakai itu kan bendera pusaka, dan kita bisa ikut menyimpan benda pusaka itu, kan ada upcara sendiri. Saya ngalamin sendiri, dan rasanya berkah banget," ucap Inayah di rumahnya di Jalan Warungsila No 1 Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (14/8/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah upacara biasanya ada pesta kebun. Semua masyarakat dari berbagai kalangan campur aduk jadi satu.
"Tamu-tamu negara, pejabat, sampai yang tukang sapu juga ada, dan itu seru banget," ucapnya.

Di pesta itu ada stan makanan dan lucunya selesai acara para tamu itu pada rebutan makanan. Bukannya rebutan untuk dimakan tapi karena untuk seru-seruan.

"Pas acara selesai itu pada rebutan makanan, sampai duta besar itu ikutan. Tapi bukan untuk makananannya tapi karena seru-seruan aja. Ahahah itu seru banget. Salah satu momen yang menurut saya seru banget," ucap Inayah.

Gus Dur Berkah

"Bapak itu berkah". Itu adalah kalimat pertama yang terlintas dalam pikiran Inayah Wulandari, anak bungsu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat ditanya arti Presiden ke-4 RI itu bagi dirinya.

"Bapak itu berkah buat saya karena ada anak yang dapat Bapak antimainstrem. Mau ada atau nggak ada gelar pahlawan buat saya Bapak itu pahlawan," di rumahnya di Jalan Warungsila No 1 Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (14/8/2015).

Selain berkah, Gus Dur menurut Inayah tak pernah melarang keinginan anaknya. Apa yang dilakukan anak didukung, Gus Dur hanya akan memberikan pengertian dan konsekuensi apa yang akan didapat dari jalan yang diambil.

"Bapak itu tipenya gini, kamu belok kanan ada ini, ini, ini. Belok kiri ada ini, ini, ini, silakan kamu pilih yang mana, karena kamu sudah tahu resikonya apa. Jadi semua dibalikin ke kita. Jadi kita kayak mandiri. Bapak mengajak kita untuk berpikir kritis," ucapnya.



"Bapak itu tipikal kalau anak berbuat kesalahan yah nggak papa, emang gitu proses hidup tapi kamu belajar nggak dari situ. Jadi nggak pernah didikte," tambahnya.

Salah satu hal yang diingat Inayah adalah saat dia masuk kuliah dan memilih jurusan Sastra Indonesia. Saat itu banyak yang tidak mendukung dan meremehkan pilihan dia, namun Gus Dur lain.

"Banyak yang bilang ih ngapain sih ngambil Sastra Indonesia. Tapi Bapak justru bilang gini, "Kamu mau ambil Sastra Indonesia?" yaudah kamu baca buku ini, ini,ini dan nanti kamu gini-gini. Jadi beda banget gitu, dan Bapak itu nggak pernah nak kamu harus gini, harus gitu nggak pernah," tutur Inayah.

Hal lainnya tentang Gus Dur adalah saat dia menjadi Presiden dan mengganti nama Irian Jaya menjadi nama Papua. Gus Dur mengundang para tokoh Papua untuk datang ke Istana, mereka diajak berdialog dan ditanya apa keinginan dan kebutuhannya.

"Mereka kaget sekali, selama itu belum pernah ditanyain pusat maunya apa. Ketika mereka ditanya maunya apa, mereka bilang maunya pisah. Bapak bilang hayu kita ngobrol tapi dalam konteks gabung dan maunya apa," cerita Inayah.

Masyarakat Papua yang diundang Gus Dur akhirnya setuju untuk tidak memisahkan diri namun dengan beberapa syarat yakni meminta identitas mereka dikembalikan dengan menggunakan nama Papua bukan Irian. Selain itu mereka ingin agar bendera bintang kejora dikibarkan di sana.

"Bapak bilang silakan tapi jangan lebih tinggi dari Merah Putih. Mereka cerita gini "Kami kaget betul boleh naikin bendera bintang kejora, dulu mimpi saja ada bendera bintang kejora besok pagi sudah ditangkap. Itu mereka merasa eksistensinya dianggap," katanya.

Saat Gus Dur menjadi Presiden, Istana menjadi sangat terbuka untuk rakyat. Siapa saja bisa masuk ke sana. Interior bangunan juga diubah dengan memajang foto-foto kegiatan dan akuarium di berbagai sudut.

"Kita memang goalnya bagaimana mengembalikan Istana untuk rakyat, karena itu memang tempatnya rakyat," ucap Inayah.

Istana yang dulunya formal dan "kaku" perlahan mulai mencair. Contohnya saja soal berpakaian di Istana, bagi laki-laki dan perempuan harus pakai baju rapi dan tidak boleh pakai sandal.

"Lah tapi gimana yang datang (tamu Gus Dur) kan kyai-kyai pakai sarung sama sendal. Pernah juga kakak saya yang ketiga ulang tahun, kakak saya kan slengean yaudah teman-temanya juga. Paspampresnya lapor ke komandan. "Komandan ini gimana cuma pakai sendal, celananya robek-robek" tapi yaudah emang itu tamunya," kata Inayah tertawa.

Ketika Open House saat Lebaran juga ada yang menarik. Waktu itu tamu untuk kalangan pejabat dan menteri mendapat giliran pertama. Setelah itu giliran rakyat.

"Tiba-tiba karpetnya digulung. Bapak bingung "Loh ini kenapa karpetnya digulung? Petugasnya bilang "Iya soalnya abis ini kan masyarakat Pak datang nanti takut kotor. Lahh langsung marah lah Bapak "Eh itu karpet belinya pakai duit rakyat, berarti punya rakyat, mau diinjek-injek mau diapain kek, itu punya mereka. Pasang lagi!" perintah Gus Dur kala itu.

Selain itu pernah juga Gus Dur membuat pemilik warung di pinggir jalan ketakutan. Kala itu belasan orang berkepala plontos dan berbadan tegap turun dari mobil menyisir warung tersebut. Mereka memeriksa dan mensterilkan kawasan di sekitar warung.

"Yang punya warung kaget ada orang botak-botak tinggi nyamperin warungnya, dikira mau razia. Tiba-tiba ada mobil sedan berhenti, turun Presiden. Ternyata Bapak mau makan di situ," kisah Inayah.

"Bapak nggak nyuruh orangnya dateng, Bapak yang datang. Bapak nggak pernah berubah mau jadi apapun. Sikapnya nggak berubah, sebelum, sesaat dan sesudah menjabat. Yang berubah hanya satu, kata Bapak harus pakai sepatu nggak boleh sendal jepit dan nyeker, padahal Bapak hobinya nyeker," kenang Inayah. (slm/mad)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads