"Untuk perkawinan beda agama bagaimana pendapatnya?" tanya anggota dari PKB Rohani Vanath di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/7/2015).
Menurut Mukti, tak ada satu agamapun yang mengizinkan pernikahan beda agama. Kecuali bila mereka menikah berdasarkan cara salah satu agama yang dianut pasangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Pengadilan Tinggi Agama Jambi ini lantas ditanyai soal pernikahan seorang yang beragama dengan seorang atheis. Pertanyaan ini dikemukakan pimpinan rapat Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman.
"Ini kan soal perkawinan. Perkawinan beda agama kan tidak sah. Kalau salah satunya tidak beragama, atheis, atau penganut kepercayaan, bisa tidak disahkan?" tanya Benny.
Mukti menjelaskan Indonesia menganut Pancasila sebagai falsafah negara, yang memuat sila pertama 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Ini menurutnya juga dijelaskan dalam UU Perkawinan Pasal 2 Ayat 1, bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
"Bagaimana kalau tidak beragama? Ya menikahlah sesuai dengan kepercayaan Anda. Dijamin juga oleh Undang-undang. Kalau atheis, saya belum tahu itu, karena belum ada ketentuan dalam Undang-undang," jawabnya.
Seorang atheis tersebut dianjutkan untuk mengikuti aliran kepercayaan bila ingin menikah dan diakui negara. Agar supaya, hak dan kewajibannya terlindungi secara hukum.
"Oleh karena itu dianjurkan paling tidak, mohon maaf, ikut kepercayaan apapun, silakan. Itu sudah terlindungi dia. Jadi tidak bisa 'saya tidak bertuhan, saya menikah a la saya', tidak bisa, negara tidak mungkin mengatur orang yang semacam itu," tuturnya.
Meski begitu, Mukti berpendapat menjadi atheis sebenarnya adalah hak masing-masing dan harus dihormati pula. Hanya saja, atheis tersebut tak boleh menyebarkan atheismenya.
"Cuma jangan kemudian memprovokasi orang menjadi atheis. Memprovokasi inilah yang jadi masalah. Tetapi kalau dia pribadi, itu tidak apa-apa. Itu hak dia untuk hidup," katanya. (dnu/ega)











































