"Setelah DPR merencanakan pembangunan Gedung DPR senilai Rp 1,5 triliun dan Dana Aspirasi Rp 11,2 triliun per tahun, DPD ikut latah bahkan lebih progresif dengan membangun Gedung DPD di daerah senilai Rp 21 miliar per daerah atau total Rp 700 Miliar secara multiyears," kata Sekjen FITRA Yenny Sucipto dalam keterangan tertulis, Kamis (18/6/2015).
Yenny menerangkan, pada tahun 2011, DPD RI sudah mengajukan proyek yang sama dengan nilai lebih besar, yaitu Rp 30 miliar per gedung dengan total Rp 900 miliar. Namun saat itu ditolak oleh rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam catatan FITRA, untuk membangun gedung di DKI Jakarta saja hanya butuh Rp 9 miliar, sesuai dengan aturan Menteri Pekerjaan Umum No.45/PRT/M/2007, tidak sampai Rp 21 Miliar. Sehingga potensi mark up pembangunan gedung DPD di daerah mencapai 50 persen atau sekitar Rp 350 miliar," ulas Yenny.
"Sesuai Permen PU tersebut, gedung ini masuk kategori gedung mewah," imbuhnya.
FITRA menuntut pembangunan gedung itu dibatalkan. Proyek gedung mewah ini juga harus diaudit oleh BPK. Berikut tiga pernyataan FITRA terkait pembangunan gedung mewah itu:
1. Batalkan pembangunan Gedung DPD di daerah, selain pemborosan dan upaya merampok uang Negara secara sistematis, lebih baik DPD memperbaiki kapasitas dan kewenangan dalam hal Legislasi dan Penganggaran APBN. DPD masih lemah dalam kinerja dan tidak produktif selama 13 tahun ini.
2. Kategori Gedung DPD di daerah tergolong kategori gedung mewah dengan tiga lantai. Potensi mark up tinggi. Sehingga BPK wajib segera lakukan audit investigatif.
3. Proses perencanaan gedung ini tidak transparan dan akuntabel. Tiba-tiba dibangun saja, padahal tahun 2011 sudah dibatalkan sendiri oleh DPD karena desakan masyarakat. Oleh karena itu, FITRA menuntut KPK untuk turun tangan menyikapi aroma transaksional dalam proses penganggaran pembangunan gedung di DPD. (trq/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini