Organisasi tersebut mulai dari LSM seperti KontraS, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Indonesia Institute, sampai Komnas HAM dan pihak Kementerian Luar Negeri. Mereka memaparkan hasil temuan dalam diskusi di kantor KontraS, Senin (28/4/2015).
Pada sesi pertama, Sandrayati Moniaga selaku Komisioner subkomisi pengajian dan penelitian Komnas HAM, memaparkan hasil investigasi. Mereka sudah melakukan peninjauan makam di Benjina, pertemuan dengan perwakilan desa, dan mendatangi kantor Pusaka Benjina Resources di Benjina Kepulauan Aru, Maluku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dugaan perampasan hak hidup yang terjadi kepada ratusan ABK asing non Thailand yang bekerja di Benjina. Para ABK itu berasal dari Thailand, Myanmar dan Kamboja dan dipaksa untuk bekerja lebih dari 22 jam dan tanpa diberikan waktu istirahat yang cukup.
"Perampasan hak hidup, untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan tidak didapatkan oleh para ABK ini, hak untuk hidup merupakan hak yang paling mendasar bagi hak asasi manusia," jelasnya.
Pihak Kementerian Luar Negeri yang turut hadir dalam diskusi tersebut memberikan tanggapannya dari temuan-temuan fakta lapangan mengenai perbudakan ABK asing dari Myanmar, Thailand dan Kamboja di Benjina Kepulauan Aru, Maluku.
"Kami memang melihat apa yang terjadi di Benjina ini merupakan salah satu bentuk kejahatan Transnational Against Crime," ucap Dicky Komar Direktur, Direktorat HAM dan Kemanusiaan Dirjen Multilateral Kementerian Luar Negeri.
Menurut Dicky, di kasus Benjina ini ada berbagai aspek yang harus dibenahi di dalamnya, seperti imigrasi, ketenagakerjaan, dan penegakan hukum. Kemlu dan pemerintah telah bekerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam upaya pembahasan isu tersebut.
"Dalam hal ini, pemerintah bekerjasama dengan negara-negara asal ABK asing, guna melakukan verifikasi pemeriksaan dokumen, memberikan fasilitas kunjungan tim mereka guna mengumpulkan informasi terkait adanya perbudakan, pemalsuan dokumen kontrak kerja serta penyiksaan," jelasnya.
Kasus serupa juga terjadi di Australia. Ada kabar beberapa anak-anak di bawah umur dari Indonesia yang berada di penjara Australia. Colin Singer selaku Chairman Foreign Relations Committee Director Social and Political Indonesia Institute menceritakan upaya menolong mereka.
"Kami sedang mencoba membantu, anak-anak nelayan Indonesia yang dipenjara Australia dan ditempatkan pada penjara dewasa," ucapnya menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Colin menceritakan bagaimana pengalamannya sampai ia dapat bertemu anak-anak nelayan Indonesia di penjara Australia. Dosen tamu di salah satu universitas ini mengatakan para anak-anak nelayan ini ditempatkan bukan pada penjara yang semestinya, melainkan di penjara dewasa.
"Kenapa saya bisa tahu kalau mereka anak-anak, karena saya ketika saya sedang berada di salah satu penjara bersama direktur kesehatan dia mengatakan mereka ini ternyata belum mencapai usia puber, usianya dari 16 tahun, 18 tahun bahkan 12 tahun," ucapnya secara bergantian dalam bahasa Inggris maupun Indonesia.
(mad/mad)