"Selain mark up, yang paling parah itu adalah ketika ada proyek dari program yang dibuat oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Mereka minta izin ke DPRD agar perusahaan mereka saja yang buat, dan ini sebenarnya perusahaan milik oknum Pemda sendiri," ujar Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, saat berbincang dengan detikcom, Minggu (1/3/2015) malam.
Pola ini Menurutnya, sudah terjadi di DKI sejak lama. Sehingga apabila ada mark up sebesar 20 hingga 50 persen masih dianggap wajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dirinya mendukung Ahok melaporkan dugaan penyimpangan yang terjadi pada APBD ke lembaga penegak hukum. "Namun sebetulnya kalau Ahok kalau ingin melapor, sebaiknya bersihkan internal dulu. Proyek fiktif banyak sekali, itu juga kalau sejak dulu ditelusuri sebenarnya bisa," kata Uchok.
"Terkait dana siluman itu, kalau Pemdanya nggak mau, sebenarnya DPRD juga takut karena Pemda lah yang memiliki wewenang untuk mengeksekusi anggaran. Sementara DPRD hanya punya hak untuk pengawasan dan tanggung jawab," kata dia.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menduga penyusupan anggaran siluman terkait UPS terjadi setelah sidang paripurna persetujuan APBD DKI 2015 sebesar Rp 73,08 triliun pada 27 Januari lalu.
DPRD diduga Ahok memotong sejumlah anggaran dari program unggulan Pemprov sebesar 10-15 persen untuk dialihkan ke yang lainnya, seperti pembelian UPS. Total nilai dana siluman pada APBD dari draf DPRD DKI disebut mencapai Rp 12,1 triliun.
Ahok lantas menunjukkan pengadaan serupa yang diduga sengaja disusupkan pada tahun 2014 dengan kisaran harga per perangkat mencapai Rp 5,8 miliar. Pada Jumat (27/2) Ahok langsung melapor ke KPK sekaligus membawa bukti terkait dana siluman APBD 2015 juga anggaran UPS pada APBD tahun sebelumnya.
(rni/fdn)