Untuk mengetahui jawabnya, mari kita berkaca pada kasus yang terjadi di Jember, Jawa Timur. YN menyekolahkan anaknya ZZ yang berusia 4 tahun dan PMF yang berusia 10 tahun di sebuah sekolah berstandar internasional di kota tersebut. Pada 14 September 2011, ZZ terjatuh dari ayunan akibat didorong kuat-kuat oleh teman satu kelasnya. ZZ yang terlempar lalu terluka di bibir dan pecah. Sepulangnya, YN komplain kepada wali kelas bernama FIM dan FIM berjanji akan lebih hati-hati mengawasi anak didiknya.
Setahun berikutnya, kejadian itu kembali terjadi. Tiga jari ZZ luka bengkak dan terkelupas. Wali kelas mengaku tidak tahu sebab luka ZZ. Hal serupa juga dialami kakak ZZ, yang terjatuh dan kulit sepanjang sikunya terkelupas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Orang tua siswa menggugat pihak sekolah sebesar Rp 100 juta untuk kerugian materiil dan Rp 1 miliar untuk kerugian immateril. Atas tuntutan ini, Pengadilan Negeri (PN) Jember menolak gugatan itu pada 20 Februari 2013.
Tidak terima, orang tua lalu mengajukan kasasi. Tapi lagi-lagi upaya itu kandas. MA menyatakan sekolah tidak bertanggung jawab atas luka-luka yang dialami anak didiknya, meski terjadi dalam waktu belajar mengajar.
"Tanggung jawab materiil pendidikan ada pada sekolah, termasuk materi pelajaran dan budi pekerti dalam lingkungan sekolah. Sedangkan yang ada pada murid secara fisik menjadi tanggung jawab orang tua murid, termasuk perkembangan dan pertumbuhan fisik, termasuk juga kecelakaan di sekolah yang mengakibatkan cidera fisik," demikian pertimbangan MA sebagaimana dilansir website MA, Jumat (27/2/2015).
Oleh karena biaya pengobatan dan penyembuhan dari cidera anak adalah tanggung jawab terhadap fisik anak dan karena itu menjadi tanggung jawab orang tua, bukan tanggung jawab sekolah. Duduk sebagai ketua majelis Prof Abdul Gani Abdullah dengan anggota Zahrul Rabain dan I Gusti Agung Sumanatha.
"Menolak permohonan kasasi," putus majelis pada 25 Maret 2014.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini