Kini peninggalan kiswah itu disimpan di dalam ruang pusaka keraton Yogya. Kiswah itu juga sudah diberi nama Kyai Tunggul Wulung.
"Itu sakral. Tidak boleh difoto," terang Panglima Keprajuritan Keraton Yogyakarta GBPH Yudhaningratβ yang juga adik Sri Sultan yang ditemui pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pusaka itu bukti keraton merupakan kekhalifahan Islam," tambah dia.
Menurut dia, selain kiswah juga ada bendera hijau dengan lafaz tauhid yang dinamakan Kyai Pare Anom. Benda itu menurut Yudha, dikeluarkan bila ada bencana atau wabah.
"Kyai hanya hadir kalau Yogyakarta ada wabah atau bencana, yang pagi sakit, sore mati," urai dia. Dahulu di zaman Jepang benda yang dianggap keramat itu pernah dikeluarkan karena ada wabah pes.
Saat diarak, lanjut Yudha, yang membawa adalah abdi dalem dengan pangkat bupati. "Dan harus ikhlas, karena akan meninggal dunia setelah itu. Saat itu KRT siapa ya saya lupa, yang menyanggupi membawa tunggul wulung langsung mengumpulkan sanak saudaranya, aku pamit, aku mesti mati," tutur dia.
Benda itu juga tak bisa diperlihatkan ke publik. Hanya keluarga keraton dan abdi dalem saja yang tahu. Demikian juga saat diarak tak boleh ada yang tahu.
Soal kiswah dari Tukri itu pernah disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI 2015 (KUII-VI 2015) di Yogyakarta. Saat memberikan pidato pembukaan, Sultan sempat menyinggung mengenai bendera peninggalan kerajaan Demak yang ternyata pemberian dari kekhalifahan Turki.
"Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau," jelas Sultan dalam pidato sambutannya, awal Februari lalu.
(sip/ndr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini