"Khusus dalam KDRT, pengaduan bisa dilakukan kapan pun dalam semua tahap," kata ahli pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Dr Mudzakir saat berbincang dengan detikcom, Senin (22/12/2014).
Era Orde Baru, dikenal lembaga Badan Penasihat, Pembinaan, Pelestarian Perkawinan (BP4) yang bertugas memberikan konsultasi masalah rumah tangga. Namun setelah era reformasi, BP4 tidak lagi efektif dan seiring munculnya UU Pencegahan KDRT, setiap kekerasan dalam rumah tangga selalu dianggap sebagai kejahatan dan langsung dipidanakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan munculnya UU Pencegahan KDRT, perlahan serupa masalah diselesaikan dengan pidana sehingga masalah menjadi lebih runyam apabila suami atau istri dipenjara.
"Rumah tangga itu kan bersifat privat, tapi setiap ada masalah loncat menjadi pidana. Harus ada semacam lembaga penyelesaian masalah rumah tangga seperti BP4. Urusan sebesar apapun diselesaikan di BP4, permasalahan suami istri diselesaikan di situ. Harus dibalik mindset, rumah tangga itu urusan privat dan karenanya rumah tangga itu bersifat keperdataan," ujar Mudzakir.
Dalam menangani permasalahan ini, aparat penegak hukum diminta bijaksana. Baik polisi, jaksa atau hakim. Setiap permasalahan rumah tangga, harus diselesaikan mengarah kepada keutuhan rumah tangga, bukan sebaliknya.
"Jangan mendorong orang bercerai, dan membela perempuan. Yang ada bukan mencari solusi konflik kalau berpihak kepada perempuan, tapi malah membuat proses tidak netral. Untuk itulah jaksa, polisi, hakim harus bijaksana," kata Mudzakir.
Kasus di atas dialami oleh Kamini yang dianiaya Sidarta karena tidak mau diajak berhubungan badan dan dituduh mempunyai pria idaman lain (PIL). Selain itu, Sidarta juga menendang, memukul dan mencakar Kamini supaya mau bercinta dengannya. Puncak penolakan itu, Kamini lalu ditampar. Sidarta yang ditutupi amarah lalu menarik baju Kamini hingga terlepas dan Kamini hanya memakai BH lari ke luar rumah dan berteriak-teriak minta tolong.
Meski mengalami kekerasan, tapi Kamini memaafkan suaminya, enam bulan setelah ia melaporkan ke aparat kepolisian. MA menerima pencabutan perkara itu dan Sidarta pun lolos dari ancaman 5 tahun penjara.
"Keterlambatan pencabutan pengaduan saksi korban, jangan dimaknai secara legalistic positivic, tetapi lebih dimaknai penyelesaian secara damai berkeadilan yang menguntungkan saksi korban dan terdakwa demi terciptanya kebenaran dan keadilan," putus hakim agung Zaharudin, Surya Jaya dan Suhadi dengan suara bulat.
(asp/try)