Dari foto yang ada di Tropenmuseum, terlihat beberapa pekerja sedang mengolah getah perca jadi blok-blok karet berkualitas tinggi. Lampu masih menyala terang dan mesin-mesin tampak dalam kondisi prima. Foto itu diperkirakan diambil di periode 1900-an.
Penasihat Teknik Dr Braak, seperti diberitakan De Telegraaf edisi Rabu 15 Juni 1938 dikutip detikcom dari Koninklijke Bibliotheek, Rabu (3 Desember 2014), sempat ke Amerika dalam rangka memperluas pasar getah perca dari Tjipetir, Hindia Belanda (Indonesia).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Foto terkini soal pabrik tersebut diambil oleh para anggota komunitas Sukabumi Heritage. Dedi Suhendra, salah seorang anggota komunitas itu menampilkan gambar peralatan pabrik yang sudah berkarat.
Meski begitu, Kepala Administratur PTPN VIII Sukamaju, Sukabumi, Budhi Herdiana, mengatakan pabrik masih berjalan hingga kini. Namun sebatas kalau ada pesanan saja.
"Terakhir (mengirim) minggu lalu ke Jakarta," katanya.
Budhi tak menyebut perusahan yang memesan. Ia hanya menjelaskan, bahan mentah produksi Cipetir digunakan untuk kepentingan medis. Pemesanan sudah beberapa kali dilakukan. Jumlahnya terbatas, hanya beberapa kilogram.
Untuk ekspor, pabrik juga tak bisa menerima banyak. "Sekali order, antara 9-13 kg. Rutin 6 bulan sekali," kata Budhi.
Untuk membuat getah merah memang tak sederhana. Satu ton daun tanaman tersebut hanya jadi 13 kg getah. Bahan itulah yang dikirim ke pemesan.
Di masa jayanya pada abad 19, produk Cipetir mendunia. Tak heran, produknya sampai 'tercecer' di pantai-pantai Eropa setelah kapal pengangkut karam. Menurut BBC, kotak kenyal mirip karet bertuliskan 'Tjipetir' ditemukan antara tahun 2008 hingga 2013 lalu. Diduga kuat produk itu dibawa oleh kapal Jepang yang ditenggelamkan oleh kapal Jerman pada 1917.
(mad/rmd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini