Banda Aceh - Saban pagi, pasar sayur di kawasan Peunayong, Banda Aceh, tak pernah sepi. Hiruk pikuk orang-orang berdagang sembako, ikan, buah-buahan, barang-barang kelontong, apotek, pakaian, aksesoris mobil, handphone, elektronik, majalah, sampai warung kopi acap mewarnai kota tua Banda Aceh ini. Tapi kini, daerah yang menjadi semacam 'China Town' itu, tak ubahnya seperti kota mati. Peunayong berjarak 2 kilometer arah utara Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Sejumlah bangunan yang berdiri, khususnya di Jl. Ahmad Yani, merupakan bangunan sisa zaman kolonial. Arsitekturnya campuran Belanda dan Cina. Kini, dari sekian banyak jalan yang mengapit kawasan perdagangan di Kota Banda Aceh ini, hanya bangunan-bangunan di Jl. Ahmad Yani, yang terbilang masih banyak tersisa jika dibandingkan dengan bangunan di jalan lain di kawasan ini. Umumnya, bangunan-bangunan berlantai dua atau tiga yang tak kuat, rubuh, berkeping-keping, hancur lebur. Menyisakan bebatuan dan kepingan tembok-tembok. Sebagian pertokoan lainnya terlihat amblas, lantai duanya beralih menjadi lantai satu, sejumlah nama-nama toko kini sejajar dengan jalan aspal. Beberapa pintu rolling door terlihat penyok dan jebol. Sampah dan lumpur mengendap di mana-mana. Sementara, bangunan-bangunan semi permanen hampir tak menyisakan apa-apa. Hanya tumpukan-tumpukan kayu. Apalagi, sebagian bangunan semi permanen diterjang kapal penangkap ikan, sepanjang 10 meter. Tak ada yang tersisa di sana, kecuali rasa ngeri dan para pekerja yang terus mengumpulkan puing dan sampah.Jika dilihat dari bangunan yang masih berdiri tegak, bekas genangan air mencapai 3-4 meter lebih di kawasan tersebut. Tak heran, jika kawasan ini termasuk daerah yang banyak menelan korban. Apalagi, di sebelah utara, Peunayong langsung berhadapan dengan laut. Di sebelah barat, diapit dengan Krueng Aceh, sungai yang membelah Kota Banda Aceh. Dulunya, kawasan ini disebut Bandar Peunayong. Sebelum gempa dan tsunami, kapal-kapal tradisional penangkap ikan, sandar di Krueng Aceh yang berbatasan dengan Peunayong. Belanda mendesain Peunayong sebagai Chinezen Kamp atau Pecinan. Kawasan ini dihuni warga Tionghoa dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian, dan subetnis lainnya. Leluhur warga Thionghoa sudah berada di kawasan ini sekitar abad 17. Tapi kini, banyak warga Aceh yang juga membuka toko, tinggal dan berdagang di sana. Kini, hiruk pikuk orang-orang berdagang tak terdengar lagi. Jalanan lengang. Hanya suara-suara yang ditimbulkan sejumlah alat-berat yang terdengar bergemuruh. Kue-kue moci yang biasanya dijual di warung-warung kopi milik warga Thionghoa sudah tak bisa dinikmati. Makanan khas China yang dimasak secara halal juga tak tersedia lagi. Ketika berdiri di depan kelenteng di Jl. T. Panglima Polem, suasana menjadi begitu sunyinya. Entah kapan, kawasan perdagangan dan kota tua di Banda Aceh ini akan bangkit lagi. Apalagi, sepekan setelah kejadian, warga Thionghoa di kawasan ini umumnya memilih angkat kaki dari Banda Aceh. Warga Thionghoa yang masih tinggal di Banda Aceh, umumnya yang bertempat tinggal di kawasan Jl. Teuku Umar, Setui.
(asy/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini