FK Gerus Kewenangan Organisasi Profesi, UU Pendidikan Dokter Digugat

FK Gerus Kewenangan Organisasi Profesi, UU Pendidikan Dokter Digugat

- detikNews
Selasa, 18 Nov 2014 17:44 WIB
Jakarta -

Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mengajukan judical review terhadap UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok). Gugatan mencakup 2 hal yakni mengenai uji kompetensi dan sertifikasi dokter, serta terkait Dokter Layanan Primer.

"Menurut pemohon, uji komptensi dan sertifikat dokter merupakan domain atau wewenang profesi, bukan fakultas kedokteran (FK). Pemerintah juga tidak berwenang mengatur kompetensi dokter," ujar pengacara PDUI, Muhammad Joni saat membacakan petitumnya di ruang sidang MK, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakpus, Selasa (18/11/2014).

UU Dikdok dalam pasal 36 mengatur Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi berwenang melakukan uji komptensi dan menerbitkan sertifikat profesi dokter. Sementara tatanan aturan yang sudah berlaku selama ini yang berwenang melakukan ujian kompetensi dan menerbitkan sertifikat profesi adalah organisasi profesi dalam hal ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai kolegium.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ilustrasinya adalah fakultas hukum hanya menciptakan sarjana hukum, tidak berhak menciptakan advokat. Mereka yang ingin jadi advokat melakukan uji kompetensi dengan organisasi advokat. Fakultas Kedokteran (juga hanya) menciptakan sarjana kedokteran, yang berwenang mengeluarkan sertifikat profesi adalah IDI sebagai kolegium," kata Joni.

"Akibatnya timbul kekacauan sistem praktik kedokteran, kerancuan dan rusaknya tata kedokteran, dan ketidakpastian hukum," tambahnya.

PDUI juga menggugat ketentuan dalam UU Dikdok mengenai kewajiban bagi Dokter Umum untuk mengikuti pendidikan sebagai Dokter Layanan Primer (DLP). DLP ini adalah dokter umum setara dengan spesialis tapi bukan spesialis.

"Dokter Layanan Primer seakan-akan menciptakan kelas baru, dokter adalah dokter dan dokter spesialis/sub spesialias. Secara profesi tidak dikenal dokter layanan primer. Ini menjadi penghambat pemenuhan konstitusi terhadap layanan masyarakat," jelas Joni.

"Hak konstitusional dokter untuk mengakses dan menjangkau masyarakat menjadi terganggu karena dokter yang dapat melayani masyarakat sebagai garda terdepan diharuskan dokter layanan primer yang harus mendapat ijazah atau belajar lagi. Ini menjadi blocking untuk pemenuhan layanan masyarakat dan bertentangan dengan UUD 1945," sambungnya.

Ketua PDUI, dr Abraham Patarai menyatakan Dokter Pelayanan Masyarakat ini menganggu tatanan yang sudah ada termasuk pelayanan masyarakat. Hal ini karena semua dokter umum yang ada di Indonesia diharuskan mengikuti pendidikan lagi selama 2 tahun untuk menyandang predikat DLP.

"Sebelumnya sudah ada tatanan yang sudah existing, mau ditabrak lagi dengan aturan baru. Kalau dihitung butuh waktu 50 tahun dokter umum di Indonesia untuk jadi DLP, apakah mau dunia medis terhadap pelayanan masyarakat kolaps selama itu?," tukas Abraham yang hadir dalam persidangan.

Program DLP dinilai tidak rasional karena jika target pendidikan DLP sebanyak 1.920 DLP setiap tahun maka perlu waktu 50 tahun untuk menyetel 96.087 dokter umum menjadi DLP. Itu dengan asumsi pertambahan 0% dokter.

Meski begitu, MK masih meminta pemohon untuk melakukan perbaikan terhadap petitum yang diajukan. Perbaikan mengenai teknis yang berkesinambungan terhadap subtantif gugatan.

"Petitum dan posita perlu ditata kembali dalam 2 hal pokok itu. Positanya harus dikelompokkan. Diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki," pinta hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi yang memimpin jalannya persidangan.ο»Ώ

(ear/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads