Survei itu dilakukan dan dipublikasikan Lingkaran Survei Iβndonesia (LSI) di kantornya, Jl Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (28/8/2014). Survei menunjukkan harapan publik berada di posisi 71,73 persen, bahkan lebih tinggi dari perolehan Pilpres 2014 yaitu sebesar 53,15 persen.
"Harapan bisa berarti positif dan negatif. Secara positif berarti dukungan politik. Negatifnya berarti semakin tinggi harapannya semakin mudah mereka kecewa dan tidak puas," ujar peneliti LSI, Rully Akbar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Metode survei adalah multistage random sampling dengan margin of error sebesar kurang lebih 2,9 persen. Survei ini juga diperkuat dengan analisis dan data-data kualitatif melalui indepth interview, FGD dan analisis media. Survei dibiayai penuh oleh LSI.
"Keyakinan publik akan perubahan yang lebih baik sebesar 71,73 persen. Ada yang pesimis sebesar 14,11 persen. Sementara yang belum memutuskan sebesar 14,16 persen. Keyakinan yang tinggi berarti harapan yang tinggi," ujar Rully.
Rully menambahkan, angka harapan yang melebihi perolehan suara Jokowi-JK di Pilpres menandakan semakin banyak publik yang mendukung Jokowi-JK. Segmen yang paling banyak mendukung Jokowi-JK adalah masyarakat pedesaan, pendidikan rendah dan ekonomi lemah.
"Terbukti yang yakin akan ada perubahan lebih baik di desa 74,07 persen, untuk perkotaan angkanya 65,00 persen. Segmen itu lebih tinggi karena basis dukungan Jokowi adalah segmen tersebut," ujar Rully.
Naiknya angka harapan ke Jokowi-JK ini dipicu putusan Mahkamah Konstitusi 21 Agustus 2014 lalu. Angka harapan yang tinggi ini juga melebihi angka harapan pemerintahan SBY-Boediono pada 2009 lalu.
"Semakin tinggi harapan publik semakin mudah kecewa. Itu yang terjadi pada masa pemerintahan SBY. 6 Bulan pertama pemerintahan SBY periode kedua, angka kepuasan merosot. Ini juga yang menjadi ancaman pemerintahan Jokowi," ujar Rully.
(vid/rmd)