"Inskontitusional formil di antaranya, pertama UU MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi, seharusnya dibentuk UU MPR, UU DPR, dan UU DPD secara tersendiri," ujar Wayan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/8/2014).
Kedua, lanjut Wayan, dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162β174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU P3, karena di dalam perintah pendelegasian Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Ketiga, Proses pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wayan memaparkan inskonstitusional materiil yaitu inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi, inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan, inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. RUU MD3 inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi terdapat pada pasal 166 ayat (2) dan Pasal 167 ayat (1) UU MD3, Pasal 276 ayat (1) UU MD3, Pasal 277 ayat (1) UU MD3, Pasal 165 dan Pasal 166 UU MD3, Pasal 71 huruf c UU MD3, Pasal 170 ayat (5) UU MD3, Pasal 171 ayat (1) UU MD3, Pasal 249 huruf b UU MD3.
"Inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi diantaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD 'difilter' oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden," tuturnya.
Selanjutnya, pokok-pokok inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan yaitu mengenai pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketiadaan kesejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.
I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi di antaranya anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR. Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan Anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada.
"Masalah keistimewaan dan kekuasaan yang luar biasa ditambah lagi dalam UU ini, misalnya kalau DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan untuk dapat memanggil dan memeriksa anggota DPR sedangkan DPD tidak begitu, ini UU yang sangat ganjil dan diskriminatif," jelas Wayan.
"Pokok-pokok inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN di antaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara," papar Wayan.
Menurut Wayan, UU MD3 ini bertentangan dengan UUD 1945 yang telah diberikan tafsir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.92/PUU-X/2012. Dengan disetujuinya UU Nomor 17 Tahun 2014 ini, DPR dianggap telah menghinakan putusan MK.
"Karena DPR yang membuat UU MK dan menyatakan keputusan MK final dan mengikat. Ketika keputusan berkaitan DPD dijatuhkan, putusan tidak diakomodir, seharusnya tidak bisa diabaikan. Kalau terus menerus tidak diakomodir, ini bermain-main dengan negara. Kejaksaan, kepolisian, KPK dirugikan, DPD dirugikan," jelas Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI tersebut.
(mpr/ros)