"Sebagai negara muslim demokrasi terbesar yang peduli terhadap hak-hak asasi manusia, bangsa dan pemerintah, Indonesia harus mengecam keras vonis hukuman mati 683 pengikut dan simpatisan Ikhwanul Muslimin," kata Hajriyanto dalam keterangan tertulis, Rabu (30/4/2014).
Hajriyanto mengatakan vonis mati secara kolektif yang masif seperti itu bukan hanya tidak lazim dalam praktik hukum di negara mana pun, tetapi juga sangat anakronistis dan sarat dengan dimensi permusuhan politik yang bertentangan dengan penegakan hukum itu sendiri. Menurutnya rezim hukum Mesir bisa diduga sedang menjalankan agenda politik balas dendam pasca kudeta terhadap Presiden Muhammad Mursi tahun lalu.
"Sulit untuk mengelak bahwa vonis hukuman massal adalah semata-mata peristiwa politik, bukan hukum," ucap Hajriyanto.
Hajriyanto menambahkan sebagai negara yang memiliki tujuan luhur ikut mewujudkan ketertiban dunia, Indonesia harus mengambil langkah-langkah dalam menyikapi hal ini. Salah satunya secara aktif dan proaktif bergabung dengan kekuatan internasional untuk mengecam dan menghentikan hukuman massal yang tidak menjunjung tinggi HAM tersebut. Sebab, kasus vonis mati massal ini bukan lagi urusan internal Mesir, tetapi urusan kemanusiaan sejagad yang adil dan beradab.
"Indonesia perlu mengambil prakarsa internasional untuk mempertimbangkan mengagendalan kasus vonis mati masif di Mesir itu dalam Sidang PBB sesegera mungkin," ujarnya.
Hajriyanto juga menyampaikan keprihatinannya dan mengecam sikap ambivalen yang ditunjukkkan oleh kaum cendekiawan, ulama, dan kaum liberalis Mesir atas vonis semena-mena tersebut. Padahal mereka mengklaim sebagai pejuang demokrasi dan kebebasan.
"Sikap kaum liberalis Mesir adalah sangat mengherankan. Apalagi manakala mereka justru mengesankan memberikan dukungan atas vonis tersebut," ucap Hajriyanto.
Sikap Indonesia atas hukuman mati itu hingga kini masih dalam level "prihatin". "Sebagai negara sahabat dan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tentunya mengikuti perkembangan situasi di Mesir secara dekat dan bahkan dengan rasa keprihatinan," jelas Menlu Marty Natalegawa dalam siaran pers, Selasa (29/4/2014).
Marty menambahkan, tanpa bermaksud untuk campur tangan urusan dalam negeri, persoalan ini menjadi perhatian luas dari masyarakat Indonesa. Pemerintah Indonesia sungguh berharap agar proses penegakan hukum bertumpu pada tata nilai dan kaidah yang bersifat universal.
(slm/nrl)