Tulang Bojong

Tulang Bojong

- detikNews
Rabu, 24 Nov 2004 12:15 WIB
Den Haag - Warga digebuki, ditendang, ditembaki. Rumah-rumah digeledah. Rumah sakit pun diterabas. Polisi Israel? Bukan. Ini polisi RI di Bojong. Baru 36 hari SBY berkuasa, darah sudah terus berceceran.Apa yang dilakukan polisi di Bojong selama ini hanya dipertontonkan oleh polisi dan serdadu Israel di Palestina. Dar der dor! Setelah warga dianiaya, digebuki dan ditembaki, lalu rumah-rumah digeledah, rumah sakit pun diterabas, tanpa peduli Konvensi Jenewa yang jelas menyatakan rumah sakit sebagai zona netral dan dilindungi. Ini darah kesekian yang tumpah selama pemerintahan presiden SBY. Baru 36 hari memerintah, pemerintahan SBY sudah berlumuran darah, 6 orang tewas di Jagorawi saat dia lewat dan kini menyusul 7 orang warga di Bojong, yang ditembak aparatnya. Berapa banyak lagi darah anak bangsa ini harus tumpah, tuan presiden? Padahal 100 hari saja belum lagi terlampaui. Bagaimana nanti jika sampai 5 tahun, sementara 36 hari saja darah sudah terus-terusan tertumpah?Warga bangsa ini pelan-pelan sedang dibangunkan pada kesadaran baru: wajah SBY yang selama ini dilihat -terutama selama kampanye- apakah wajah asli atau topeng belaka? Langkah tegas dan adil SBY ke depan akan menjadi pembuktian.Dengan korban 6 orang tewas berdarah-darah di Jagorawi dan 7 berdarah-darah ditembak di Bojong, mestinya tidak cukup bagi SBY untuk hanya 'memberi petunjuk menuntaskan kasus'. Sebagai presiden, seharusnya SBY tegas menarik konsekuensi terhadap pembantunya yang telah membuat tangan pemerintahannya berlumuran darah.Warga Bojong sampai berani mempertaruhkan nyawa, tentu ada alasan kuat dan prinsipil: karena habitat tempat kehidupannya terancam. Dulu hal sama pernah ditunjukkan Shamir bin Maisakh, seorang Yahudi miskin di Mesir, yang rumahnya terancam dikorbankan untuk pembangunan tempat ibadah di masa gubernur Amr bin Ash. Keberatan Shamir tak digubris gubernur, akhirnya dia mencari keadilan ke ibukota menemui presiden Umar.Setelah menerima pengaduan, Umar menggores garis lurus pada sebuah tulang. "Berikan tulang ini kepada gubernur Amr bin Ash. Sampaikan salamku kepadanya," Hanya itu pesan Umar. Begitu gubernur menerima tulang tersebut, dia langsung gemetar ketakutan. Saat itu juga dia memerintahkan kepada kepala proyek tatakota untuk membatalkan pembangunan yang bakal menyita tempat si Shamir.Goresan pada tulang itu ternyata memuat isyarat 'berlakulah adil dan lurus, bila bengkok maka pedangku akan meluruskan dirimu sampai akhirnya engkau seperti tulang yang tidak berharga ini' dan gubernur paham isyarat atasannya itu. Penguasa manapun pasti akan takut mendapat peringatan dari superiornya. Takut dihukum, takut dipecat dan kehilangan segala previlese yang dinikmatinya. Dalam posisi terancam, rakyat biasanya mendamba perlindungan dari penguasa. Nasib warga Bojong itu sekurangnya paralel dengan si Shamir: terancam, tempat tinggalnya bakal runyam karena sampah, rembesan air tanahnya, pencemaran udaranya, potensi penyebaran penyakitnya, nilai jual tanah-rumah merosot, dst.Bedanya, keberatan Shamir langsung diperhatikan penguasa. Sedangkan penguasa warga Bojong justru melihat keberatan mereka sebagai sebuah pembangkangan. Lalu bak bik buk, dar der dor. Tak ada 'tulang' dari Jakarta yang menggetarkan gubernur atau kapolda. Yang ada justru tulang-tulang warga Bojong remuk diterjang pelor. Mereka bukan kaum separatis, tuan presiden. Mereka adalah rakyat yang habitatnya sedang terancam dan mereka sudah lama menyuarakan isi hatinya. Kekuasaan baru berjalan 36 hari, belum lagi 5 tahun, namun darah anak bangsa ini sudah terus-terusan berceceran. Sampai kapan akan begini tuan presiden? (es/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads