Dokter dalam Kondisi Darurat: Tangani Pasien atau Beri Penjelasan?

Dokter dalam Kondisi Darurat: Tangani Pasien atau Beri Penjelasan?

- detikNews
Rabu, 27 Nov 2013 16:19 WIB
Ilustrasi (thinkstock)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa dr Dewa Ayu Sasiary Prawani dkk tidak menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban. Nah, bagaimana sebenarnya komunikasi dengan keluarga korban dalam kondisi darurat ini?

"Nggak mungkin keluarga nggak diberi tahu. Pasti keluarga diberi tahu kalau sedang menangani tindakan operasi. Barangkali, keluarga bukan orang yang sabar, tinggal teken-teken saja. Sesudah diadili (kasus masuk pengadilan), baru dijelaskan operasi ini ada risikonya. Keluarga mungkin maunya tolong cepat saja dilakukan pertolongan," kata dokter spesialis kandungan sekaligus mantan anggota DPR Komisi IX yang membidangi kesehatan, Hakim Sorimuda Pohan.

Hal itu disampaikan Hakim saat berbincang dengan detikcom, Rabu (27/11/2013). Hakim yakin, saat itu sang dokter sedang sibuk menangani pasien agar selamat daripada duduk di depan keluarga pasien menjelaskan segala risikonya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau saya jadi dokter, saya lebih memilih duduk di samping pasien, mengatasi, pasang infus pernapasan daripada ceritakan apa risiko-risiko kepada keluarga pasien. Habis waktu saya tungguin, saya lebih memilih menanggulangi. Situasi waktu itu ada pasien dalam keadaan kritis, tidak mungkin dokter memilih duduk di hadapan keluarga menceritakan risiko. Itu harus kita maklumi," jelas Hakim.

Untuk itu, dia mengusulkan sebaiknya dalam kondisi darurat, penjelasan tentang risiko-risiko tindakan medis atau operasi didelegasikan kepada paramedis lainnya. Karena dalam kondisi darurat, dokter sudah cukup ribet dan sibuk menyelamatkan pasien dan berpacu dengan waktu.

"Saya lebih setuju dokter menyerahkan kepada paramedis untuk minta izin menjelaskan itu (risiko tindakan medis). Saya tidak yakin pada saat kritis dokter bisa menjelaskan karena lebih mengutamamkan bekerja mengatasi sitiuasi kritis pasien daripada uraikan risiko," jelas dokter yang juga penggugat korupsi ayat rokok di UU Kesehatan ini.

Sebelumnya, dalam putusan kasasi nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang terdiri dari Dr Artidjo Alkostar, Dr Dudu Duswara dan Dr Sofyan Sitompul dalam pertimbangannya menyatakan para terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban, tidak menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban.

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado yang memeriksa kasus ini berkata sebaliknya.

"Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat membuktikan kebenaran dalil dakwaannya tentang hal para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk, termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi cito secsio sesaria yang dilakukan terhadap diri korban (Siska Makatey)," demikian putus hakim PN Manado seperti dikutip detikcom, Senin (25/11/2013).

Sedang ibunda Siska Makatey punya cerita sendiri. "Kami kecewa terjadi pembiaran selama 15 jam terhadap anak saya. Kenapa tindakan operasi baru dilakukan setelah kondisi anak saya sudah menderita dan tidak berdaya?" sesal Yulin Mahengkeng di Manado pada Senin (25/11/2013).

(nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads