Pria yang berdagang kaos ini mengaku meski menggelar lapak dagangan di pinggir jalan namun tidak gratis. Setiap bulan dia harus merogoh kocek Rp 2 juta kepada preman setempat untuk bisa berdagang. Hanya dia enggan menyebutkan siapa pimpinan atau kelompok preman yang menagih uang tersebut. Pembayaran 'uang lapak' tersebut, lanjutnya, hanya kepada preman dan tidak ada lagi pembayaran ke pihak yang lain. "Bayar Rp 2 juta hanya ke preman," kata Anto.
Wahyu, seorang pedagang baju membenarkan pengakuan Anto. Namun meski tak gratis, baik Anto maupun Wahyu menolak direlokasi ke Blog G, meski tak dipungut biaya sama sekali. Alasannya relokasi dikhawatirkan akan memukul omzet para pedagang. "Gak mau (direlokasi), omzetnya bisa turun sampai 40 persen," kata Wahyu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gedung Blok G terletak sekitar 200 meter di belakang gedung grosir Blok B. Gedung yang dicat dengan warna biru yang telah tampak kusam tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian depan 3 lantai sedangkan bagian belakang 4 lantai.
Di bagian depan, lantai pertama terdapat pedagang bahan kain dan sedikit pedagang kosmetik. Di lantai ini kios-kios pedagang banyak yang ditutup dan digembok. Sedangkan di lantai 2, terdapat pedagang tas dan pakaian, banyak lapak pedagang yang kosong dengan kondisi kotor dan rusak. Seng warna hijau kusam yang dibikin untuk lapak, telah terlepas. Sedangkan di lantai 3 tidak ada pedagang yang berjualan dengan kondisi lapak sama seperti di lantai 2.
Sementara itu, di bagian belakang terdiri 4 lantai yang mana pada lantai 1terdapat pedagang ayam potong dan daging. Di lantai 2 pedagang makanan dan sayuran/sembako. Pada lantai 3 hanya ada 6 pedagang baju yang berjualan dan lantai 4 kosong (tidak ada yang berjualan).
(erd/erd)